Bisnis.com, JAKARTA - Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini karena invasi Rusia ke Ukraina. Menimbang kondisi ini, Bank Dunia atau World Bank berencana untuk memobilisasi paket pendanaan yang lebih besar daripada respons Covid-19 bagi negara-negara untuk menghadapi berbagai krisis.
Lembaga yang berbasis di Washington itu telah menurunkan perkiraannya untuk pertumbuhan global pada 2022 menjadi 3,2% dari prediksi Januari sebesar 4,1%.
Presiden David Malpass Bank Dunia mengatakan penurunan itu didorong oleh prospek ekonomi Eropa dan Asia Tengah, yang meliputi Rusia dan Ukraina. "Perkiraan global untuk tahun ini [jauh] dibandingkan dengan ekspansi 5,7% pada tahun 2021," katanya.
Malpass mengatakan Bank Dunia berharap untuk membahas paket respons krisis baru senilai US$170 miliar untuk mencakup April 2022 hingga Juni 2023 dengan dewan bank dalam beberapa minggu mendatang. Sebanyak US$50 miliar dari total dana tersebut akan digunakan untuk tiga bulan ke depan.
“Ini adalah respons krisis besar-besaran yang berkelanjutan mengingat kelanjutan krisis,” katanya. Dia menambahkan bahwa inisiatif baru akan melebihi nilai insiatif sebesar US$157 miliar yang dimobilisasi untuk fase awal pandemi Covid-19.
Komentar dan rencana Malpass muncul menjelang pertemuan musim semi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang berlangsung minggu ini di Washington, di mana ketahanan pangan, inflasi, utang, dan kejutan invasi Rusia ke Ukraina akan dipaparkan.
Baca Juga
Bank Dunia bulan lalu mengumumkan paket pendanaan senilai US$3 miliar untuk Ukraina yang diharapkan akan disetujui dan disebarkan dalam beberapa bulan mendatang.
Malpass mengatakan dia memperkirakan krisis utang untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah akan memburuk pada tahun 2022.
Ada kemajuan lambat pada rencana ekonomi besar untuk membantu negara-negara berkembang yang dililit utang dan merestrukturisasi utang mereka kepada kreditur. Bank Dunia mencatat total utang jatuh tempo seluruh negara di dunia mencapai US$35 miliar tahun ini.
"Negara-negara berada di bawah tekanan keuangan yang parah - 60% dari negara-negara berpenghasilan rendah sudah dalam kesulitan utang atau berisiko tinggi," kata Malpass.
Dia mendorong adanya upaya nyata dari G20, terutama terkait dengan kerangka untuk menata kembali utang negara-negara yang terancam gagal bayar.