Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mendorong upaya mengatasi kendaraan angkutan barang berdimensi dan bermuatan lebih atau over dimension over load (ODOL), dengan di antaranya merevisi Undang-Undang No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi mengatakan UU pedoman kegiatan lalu lintas tersebut di antaranya mengatur soal sanksi yang diberikan kepada pelanggar ODOL. Kendati demikian, dia menilai pemberian sanksi yang diatur di dalam UU terlampu minim.
Budi mengatakan sanksi denda yang diberikan kepada kendaraan ODOL, berdasarkan UU LLAJ, hanya sebesar Rp500.000. Namun, dalam pelaksanaannya, denda yang diberikan kepada pelanggar seringkali tidak lebih dari setengahnya.
"Namun di dalam pelaksanaannya atau eksekusi yang dilaksanakan oleh hakim rata-rata hanya sekitar Rp150.000 sampai dengan Rp200.000 saja. Jadi kalau kelebihannya mungkin dari kendaran tersebut misalkan [dapat] keuntungan Rp10 juta, angka dari denda itu sangat kecil sekali," tutur Budi di hadapan Komisi V DPR RI saat rapat dengar pendapat, Rabu (13/4/2022).
Budi menyebut besaran sanksi denda yang diatur di dalam UU LLAJ tidak masuk akal. Padahal, dia mengatakan besaran sanksi yang diberikan kepada kendaraan pelanggar aturan muatan barang, bisa mencapai Rp100 juta.
"Kami pernah melakukan satu perbandingan atau benchmarking dengan beberapa negara, sanksi untuk penegakan hukum terhadap penilangan over dimension dan over load itu angkanya di atas Rp100 juta. Tidak harus disamakan dengan itu, tapi minimal harus ditingkatkan minimal di atas Rp1 juta atau Rp2 juta, atau dilihat dari pelanggaran yang dilakukan," tuturnya.
Baca Juga
Seperti diketahui, pemerintah dan kepolisian menargetkan Indonesia bebas kendaraan ODOL pada Januari 2023. Selain pengawasan di jalan, Kemenhub mendorong upaya normalisasi dimensi kendaraan angkutan barang.
Ditjen Perhubungan Darat sempat mencatat bahwa sudah ada 1.511 kendaran ODOL yang sudah dinormalisasi hingga 2021, terbanyak di Jawa Barat, Banten, dan Kalimantan Barat.
Selain normalisasi kendaraan angkutan barang, upaya lain terus dilakukan seperti mewajibkan bukti lulus elektronik (BLU-E) bagi pemilik kendaraan; implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum (SMK PAU); pengawasan pada industri karoseri, bengkel modifikasi, dan pelaksanaan pengujian kendaraan bermotor; serta membangun kerja sama antarinstansi seperti dengan kepolisian dan beberapa stakeholders lainnya.