Bisnis.com, JAKARTA - Gerakan Masyarakat Awasi Kartel (Germak) menemukan bahwa 11 industri belum melakukan distribusi minyak goreng sawit (MGS) curah bersubsidi sesuai ketentuan Peraturan Menteri Perindustrian No.8/2022.
Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengatakan berdasarkan hasil pemantauan Germak di beberapa daerah pada tingkatan pabrik pada 2-9 April 2022, ada 11 industri pemilik pabrik MGS yang belum menyalurkan sama sekali minyak goreng curah bersubsidi.
Kesebelas pabrikan tersebut antara lain PT EUP di Pontianak, PT MNOI di Bekasi, PT DO & F di Kota Bekasi, PT AGR Kota Bitung, PT PNP Jakarta Timur, PT IMT Dumai, PT BKP Gresik, PT PPI Deli Serdang, PT PSCOI Bekasi, dan PT IBP di Dumai.
Roy mengatakan fakta ini menunjukkan masih rendahnya komitmen dan kepatuhan sebagian industri MGS pada kontrak dan ketentuan yang ada. Padahal, industri MGS telah berkontrak dengan pemerintah dan berkewajiban memproduksi dan mendistribusikan minyak goreng subsidi sesuai harga eceran tertinggi.
"Tampaknya memang kebijakan minyak goreng curah subsidi ini masih terjadi kelambanan baik dalam hal produksi maupun dalam hal distribusinya, sehingga ini tentu akan berdampak langsung kepada masyarakat," kata Roy dalam konferensi pers online, Minggu (10/4/2022).
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa hingga 8 April 2022 tercatat baru 55 dari total 75 industri MGS yang telah berproduksi. Di sisi yang lain, dari 55 industri yang telah memulai produksi baru sebagian saja yang mencapai target sesuai ketentuan kontrak yang ada.
Baca Juga
Sementara itu, dari laporan masyarakat dan penelusuran yang dilakukan oleh tim pemantau lapangan terhadap beberapa Pasar di Kawasan Jabodetabek, ditemukan adanya potensi permainan pedagang pasar dalam menjual MGS curah subsidi yang dikemas ulang per liter tetapi dengan harga per kilogram.
Roy juga mengatakan minyak goreng curah masih dijual di atas harga eceran tertinggi (HET) di sebagian besar provinsi di Indonesia. Penjualan minyak goreng curah di bawah HET terpantau hanya terjadi di dua provinsi saja.
Di sisi lain dia juga melihat potensi adanya penyelewengan subsidi yang dibayarkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) kepada pabrikan. Pasalnya, data-data mengenai volume produksi dan jaringan distribusi dilaporkan sendiri oleh pengusaha tanpa ada mekanisme verifikasi yang memadai.
"Kelihatannya pemerintah perlu lebih tegas kepada pelaku usaha sehingga tidak ada manipulasi terhadap minyak goreng yang harusnya untuk curah, tetapi dibuat ke dalam bentuk kemasan," ujarnya.
Roy pun menuntut keterbukaan data pemerintah terhadap 300 distributor, 919 sub distributor
dan 4.686 pengecer yang telah terdaftar di dalam Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (Simirah) agar dapat dipantau pelaksanaan peredaran MGS Curah Subsidi dan dapat segera dilaporkan untuk ditindak jika terjadi manipulasi dan penyelewengan di setiap tingkatan distribusi yang ada.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita sebelumnya menemukan beberapa contoh ketidakpatuhan pabrikan dalam memenuhi komitmen produksi.
"Ada industri yang sangat berkomitmen, bahkan menyanggupi memproduksi MGS curah di atas kuota yang ditentukan, namun ada yang masih enggan merealisasikan," kata Agus.
Selain itu, dari hasil pengawasan tim di lapangan, ditemukan perbedaan tingkat kesiapan infrastruktur masing-masing distributor. Hal ini mengganggu pasokan hingga ke tingkat pengecer. Lebih lanjut, distributor dan pengecer enggan menerapkan margin yang telah diterapkan oleh pemerintah.