Bisnis.com, JAKARTA - Pengusaha tekstil diperkirakan tidak akan banyak yang beralih kembali menggunakan batu bara meski harga khusus telah diperluas untuk seluruh sektor industri mulai 1 April 2022.
Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan pengusaha harus terlebih dahulu berhitung antara mengoperasikan pembangkit listrik sendiri menggunakan batu bara, dengan tarif listrik PLN.
Sejak harga batu bara melambung pada tahun lalu, pengusaha tekstil yang mempunyai pembangkit listrik mandiri mengalihkan dayanya ke PLN karena dinilai lebih efisien.
"Saya agak pesimistis, karena yang pertama kami harus hitung lagi, running pembangkit sendiri sama listrik [PLN]. Kami kan belum tahu [tarif] listrik naiknya berapa," kata Redma kepada Bisnis, Jumat (8/4/2022).
Selain itu, Redma juga menyangsikan kepastian suplai batu bara untuk industri meski pemerintah telah menetapkan harga domestic market obligation (DMO) sebesar US$90 per metrik ton. Pasalnya, besaran DMO tetap tidak berubah sebesar 25 persen.
Pengusaha batu bara yang telah memenuhi kuota DMO-nya akan enggan untuk menyuplai dengan harga khusus tersebut. "Kalau DMO mereka sudah sampai 25 persen sesuai aturan, dan itu sudah diambil semua oleh PLN, dia kan bisa jual di atas harga itu. Karena mereka sudah merasa memenuhi aturan DMO, dia maunya ekspor dengan harga yang lebih tinggi," ujarnya.
Baca Juga
Pada 2020, ketika harga DMO ditetapkan US$70 pun industri tekstil kesulitan untuk menerima dengan harga yang telah ditetapkan. Redma mengatakan saat itu yang didapat rata-rata sebesar US$120 per metrik ton. Itu pun dengan pasokan yang juga seret.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengalokasikan 1 juta ton kebutuhan batu bara untuk industri tekstil sepanjang tahun ini. Namun demikian, saat ini Redma mengaku sudah sedikit sekali industri tekstil yang membeli batu bara untuk pembangkit listriknya sendiri.
"Kalau di tekstil sudah tidak ada ya, semuanya sudah pindah ke PLN," ujarnya.