Bisnis.com, JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) menyebutkan lima proyek hulu migas akan onstream pada kuartal II/2022.
Kelima proyek tersebut terdiri atas satu proyek minyak dan gas yaitu Bukit Tua Phase 2B Petronas Carigali Ketapang II Ltd; dan empat proyek gas yang meliputi Hiu Phase 2 Medco E&P Natuna, Jumelai Pertamina Hulu Mahakam, Baru Gas Plant Modif. to Tenayan Plant EMP Bentu, serta OPL South Sembakung JOB PMEP Simenggaris.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal menyebutkan proyek hulu migas baru tersebut didominasi proyek gas karena Indonesia memiliki cadangan gas yang sangat besar, yakni mencapai 15 TCF. Angka itu belum termasuk cadangan-cadangan baru.
“Proyek hulu migas baru didominasi gas karena Indonesia memiliki cadangan gas yang besar, mencapai 15 TCF. Produksi gas alam sangat bagus untuk transisi energi nasional karena lebih bersih. Eropa juga memanfaatkan gas alam sebelum transisi dari minyak bumi dan batu bara ke energi terbarukan,” papar Moshe dalam acara Market Review yang diselenggarakan oleh IDX Channel, Jumat (08/04/2022).
Akan tetapi, Moshe mencatat pemanfaatan gas alam belum maksimal karena kurangnya permintaan dan infrastruktur.
“Seharusnya [proyek hulu migas baru] menguntungkan Indonesia sebagai produsen dan eksportir gas. Sayangnya pemanfaatannya belum maksimal, karena demand dan infrastrukturnya belum mencukupi,” ujar Moshe.
Menurut Moshe, adanya permintaan sangat diperlukan untuk menjaga keekonomian proyek produksi gas alam.
“Produksi gas berbeda dengan minyak. Gas diproduksi jika sudah ada pembeli, tidak bisa semata-mata diproduksi lalu disimpan. Itu sangat berbahaya dan tidak ekonomis. Untuk ekspor, harga gas Indonesia lebih mahal daripada gas dari AS, Qatar, Australia, dan Rusia, sehingga sulit bersaing di pasar global. Agar proyek gas alam terus berlangsung perlu ada peningkatan demand dari dalam negeri. Demand dalam negeri bisa diperoleh dari switching LPG ke gas alam sehingga bisa mengurangi impor LPG dan penggantian diesel untuk pembangkit listrik menjadi gas,” urainya.
Lebih lanjut, sambung Moshe, peningkatan demand perlu dibarengi dengan peningkatan infrastruktur penunjang demi kelancaran pasokan gas.
“Gas alam tidak bisa disimpan terlalu lama, lebih sulit ditransportasikan, dan memerlukan biaya logistik yang lebih tinggi [dari minyak bumi], sehingga infrastruktur gas di Indonesia perlu diperbanyak,” tegas Moshe.
Senada, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menambahkan serapan gas alam domestik belum maksimal.
“Serapan [gas] dalam negeri masih belum optimal. Harusnya momentum transisi energi ini menjadi peluang bagi gas alam mengambil peran lebih karena transisi sesungguhnya yang paling pas menggunakan gas. Perlu support semua pihak agar gas menjadi yang utama dalam proses transisi energi ini,” ungkap Mamit kepada Bisnis, Jumat (08/04/2022).
Mamit menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur yang memadai agar serapan gas domestik bisa dioptimalkan.
“Salah satu permasalahan dalam industri gas nasional adalah infrastrukturnya. Mengingat Indonesia negara kepulauan maka agak sulit pembangunan infrastrukturnya. Infrastruktur inilah yang menjadi kuncinya. Selain pembangunan pipeline, pembuatan terminal-terminal LNG juga bisa menjadi solusi karena gas kita banyak dari Timur Indonesia sedangkan industri [yang membutuhkan gas] ada di Indonesia bagian Barat,” pungkas Mamit.