Bisnis.com, JAKARTA - Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pajak yang telah berlaku sejak awal 2022 diyakini akan ikut mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional.
Masuknya dana-dana besar dari wajib pajak tersebut selain akan menambah pendapatan negara juga bakal ikut menggerakkan sektor industri, salah satunya industri properti yang sudah mulai bangkit sejak pertengahan tahun lalu.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan, ada dua kelompok wajib pajak yang menjadi sasaran dalam PPS atau yang jamak disebut Tax Amnesty Jilid II.
Pertama, wajib pajak peserta Tax Amnesty jilid I pada 2016 yang belum sepenuhnya mengungkapkan hartanya. Kedua, wajib pajak pribadi yang belum melaporkan hartanya sejak 2016 – 2020.
“Kebijakan ini menjadi kesempatan bagi para wajib pajak untuk mengungkapkan hartanya secara sukarela. Dengan ikut PPS, targetnya adalah meningkatnya kepatuhan pajak dan wajib pajak akan mendapatkan keringanan serta terhindar dari denda administratif yang besar,” ujar Yustinus dalam diskusi virtual, dikutip Kamis (24/3/2022).
Secara normal, tanpa mengikuti PPS, kelompok pertama wajib pajak yang diketahui belum mengungkapkan hartanya akan dikenakan tarif PPh final sebesar 25 persen (badan), 30 persen (pribadi), dan 12,5 persen (WP tertentu) dari harta bersih yang ditemukan ditambah sanksi 200 persen.
Baca Juga
Sementara bagi kelompok kedua, dikenakan sanksi 30 persen dari harta bersih dan denda berupa bunga sesuai ketentuan umum perpajakan.
Dengan mengikuti PPS, Yustinus bilang, kedua kelompok wajib pajak itu bisa mendapatkan keringanan tarif dan terhindar dari denda. Bagi kelompok pertama peserta PPS, mereka akan menikmati tarif PPh final sebesar 11 persen untuk harta di luar negeri tanpa repatriasi.
Angkanya PPh menjadi 8 persen untuk harta di luar negeri dengan repatriasi dan harta dalam negeri. Sementara bagi kelompok kedua, tarif PPh finalnya menjadi 18 persen harta di luar negeri non repatriasi serta 14 persen untuk harta di dalam negeri dan harta di luar negeri yang direpatriasi.
Melalui kebijakan PPS ini Yustinus melihat ada peluang bagi sektor-sektor dengan potensi pertumbuhan tinggi dapat menerima limpahan dari hasil repatrisasi wajib pajak.
Bagi mereka yang akan mengalihkan asetnya di luar negeri menjadi aset properti di dalam negeri maka akan menikmati keringanan pajak. Di sisi lain dengan tren pertumbuhan ekonomi dan kenaikan harga yang konstan, investasi di sektor properti akan semakin menguntungkan.
Oleh karenanya, Yustinus menilai kebijakan PPS sejatinya juga dapat mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, termasuk terhadap industri properti.
Pasalnya, para wajib pajak yang merepatriasi harta di luar negeri saja akan menerima keriganan tarif PPh yang signifikan sekaligus bisa terhindar dari denda administratif.
“Sekarang waktu yang tepat karena sebenarnya dana-dana yang di masa lalu belum diungkap, sekarang menjadi lebih formal, masuk ke dalam sistem keuangan, dan tidak ada isu bagi wajib pajak karena telah dideclare dan transparan,” imbuhnya.
Yustinus menambahkan, dari tren memang Return of Investment (ROI) sektor properti termasuk bagus. Harga tanah selalu naik, apalagi prospek bisnis akan pulih dan bangkit setelah pandemi akan menjanjikan keuntungan.
"Oleh sebab itu menurut saya ini waktu yang tepat kalau mau investasi (di sektor properti) karena harganya relatif turun, karena mungkin harga lebih murah sedangkan kondisi ekonomi mulai mengalami recovery”, ungkap Yustinus.
Sampai 14 Maret 2022, Kementerian Keuangan mencatat sudah ada 22.448 wajib pajak yang mengikuti PPS. Dari angka tersebut diperoleh PPh senilai Rp3,05 triliun yang berasal dari Rp29,56 harta yang diungkapkan.
Perinciannya Rp25,98 triliun merupakan harta di dalam negeri dan hasil repatriasi harta di luar negeri, Rp1,73 triliun merupakan deklarasi harta luar negeri, dan Rp1,84 triliun merupakan harta yang sudah diinvestasikan ke SBN dan 332 sektor usaha yang ditentukan.