Bisnis.com, JAKARTA - Invasi Rusia ke Ukraina semakin membuat rumit kondisi inflasi dan kenaikan harga komoditas yang bersejarah. Ekonom khawatir guncangan inflasi hebat pada 1970-an di AS bisa terulang.
Eks Kepala Ekonom International Monetary Fund (IMF) Maurice Obstfeld mengatakan dunia memang patut khawatir akan ancaman ini.
"Semakin berlarut-larut periode guncangan yang berkelanjutan ini, semakin besar kemungkinan ekonomi menderita [seperti] pengalaman [inflasi] tahun 1970-an," ujarnya seperti dikutip Bloomberg pada Kamis (10/3/2022).
Namun, kebanyakan ekonom masih optimistis hal itu bisa dihindari. Namun, alasan mereka untuk berpikir demikian tidak memberikan dorongan kepada pelaku usaha dan pekerja.
Pertumbuhan ekonomi yang melemah dan potensi resesi bisa saja terjadi sebagai dampak menahan inflasi. Ditambah lagi, negara berkembang yang lebih rentan.
"Kita seharusnya lebih khawatir dengan perlambatan signifikan pertumbuhan ekonomi global daripada inflasi yang tidak terkendali," kata Kazuo Momma, mantan Kepala Kebijakan Moneter Bank of Japan.
Kepala Ekonom Moody's Analytics Mark Zandi mengatakan bank sentral seperti Federal Reserve AS sudah punya pengalaman inflasi pada 1970-an, sehingga cukup membuatnya menghindar dari jalan gelap itu.
"Mereka lebih suka mendorong kita ke dalam resesi lebih cepat daripada masuk ke skenario stagflasi dan resesi yang jauh lebih buruk nanti,” kata Zandi.
Adapun alasan lain para ekonom yakin perekonomian dunia tak akan jatuh seperti era inflasi pada 1970-an adalah para pekerja tidak dapat menuntut kenaikan upah seperti yang biasanya mereka lakukan.
Di AS dan Inggris, pengaruh serikat pekerja telah menyusut secara drastis. Bahkan di Jerman, di mana mereka memainkan peran yang lebih besar, ada kehati-hatian untuk mendorong kenaikan upah.
Itu berarti repetisi dari spiral harga upah, yang merupakan kunci episode inflasi pada tahun 1970-an masih kecil kemungkinannya.