Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikan harga komoditas yang tinggi di tingkat global dinilai akan berdampak positif bagi penerimaan negara, baik pajak maupun pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Oleh karena itu pemerintah dinilai tidak memiliki urgensi untuk menaikan tarif PPN menjadi 11 persen pada tahun ini.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan lonjakan harga komoditas yang dipicu oleh perang antara Rusia dan Ukraina akan mendorong kenaikan pendapatan negara.
Berdasarkan perhitungannya, dengan harga minyak diatas US$127 per barel, maka akan ada tambahan penerimaan pajak dan PNBP sebesar Rp192 triliun dari selisih harga ICP di asumsi makro US$63 per barel.
“Masih akan ada tambahan windfall dari naiknya harga komoditas global. Jadi penambahan tarif PPN memang tidak mendesak,” katanya kepada Bisnis, Rabu (9/3/2022).
Oleh karena itu, Bhima meniilai, pemerintah perlu kembali mempertimbangkan pemberlakuan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen pada April 2022.
Pasalnya, kenaikan tarif PPN kurang tepat dilakukan di tengah proses pemulihan ekonomi, terutama pada sektor konsumsi rumah tangga.
Terlebih lagi, perekonomian domestik saat ini harus menghadapi tantangan global, salah satunya konflik antara Rusia dan Ukraina, yang semakin mendorong peningkatan inflasii global.
“[Penundaan kenaikan tarif PPN] sangat mendukung pemulihan ekonomi terlebih dampak dari situasi geopolitik membuat inflasi jauh lebih tinggi,” kata Bhima.