Sejak awal 2021 sampai dengan awal 2022, tingkat inflasi negara-negara G20 terus mengalami kenaikan. Sampai Januari 2022, Argentina, Turki, Brazil, Rusia, dan Amerika Serikat (AS) masih konsisten menduduki papan peringkat inflasi tertinggi di antara negara-negara G20.
Inflasi di Brasil, Rusia, dan AS bisa dikatakan barang baru, karena sebelumnya tingkat inflasi di ketiga negara tersebut cenderung stabil. Misalnya saja AS yang pada periode 2015—2020 tingkat inflasinya berkisar 0%—2% melonjak menjadi 2%—8% pada 2021, bahkan pada Januari 2022 menyentuh titik tertinggi sejak Februari 1982.
Tingkat inflasi yang tinggi tersebut disebabkan oleh disrupsi pada sisi penawaran akibat kelangkaan tenaga kerja, disrupsi rantai pasok, dan kenaikan harga energi dunia. Berbanding terbalik dengan tekanan yang terjadi di sisi penawaran, sisi permintaan malah makin kuat karena dampak dari kebijakan moneter dan fiskal ekspansif yang diterapkan pemerintah.
Kebijakan moneter dan fiskal ekspansif yang diterapkan Pemerintah AS adalah warisan dari paket kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang terlihat dari posisi US Bank Balance Sheet yang meningkat lebih dari $5 triliun pada periode 2020—2021. Sedangkan, kebijakan fiskal ekspansif terlihat dari level US Goverment Budget Deficit sebesar 14,9% pada 2020, atau meningkat lebih dari 10% dibandingkan dengan 2019 yang hanya 4,6%.
Meskipun belum ada respons dari sisi fiskal, dinamika yang ada sekarang menunjukkan kecenderungan AS untuk menerapkan kebijakan moneter kontraktif. Dengan memperhatikan kondisi ekonomi AS sekarang, diprediksi The Fed akan menaikkan Fed Funds Rate (FFR) sebanyak tujuh kali pada 2022 dengan masing-masing kenaikan sebesar 25 basis poin. Skenario yang lebih buruk untuk kenaikan FFR adalah kenaikan sebesar 50 basis poin pada bulan Maret 2022. Dengan demikian, dapat diprediksi bahwa FFR akan berada pada rentang 2%—2,5% sepanjang tahun 2022.
Kenaikan FFR yang hampir 10 kali lipat dari level yang sekarang tentunya akan berdampak pada sektor riil dan moneter Indonesia. Dari sisi sektor riil, kenaikan FFR akan membuat Bank Indonesia harus menaikkan suku bunga acuan untuk mencegah capital outflow secara masif yang dapat membuat nilai tukar rupiah makin tidak stabil.
Kejadian yang hampir sama pernah terjadi pada 2012 ketika The Fed memutuskan untuk mengurangi nilai pembelian aset yang berakibat pada meningkatnya imbal hasil instrumen keuangan AS sehingga membuat terjadinya capital outflow secara masif dari pasar uang negara-negara berkembang.
Pada saat itu, Bank Indonesia tidak terlalu agresif dalam menerapkan kebijakan moneter kontraktif yang akhirnya membuat nilai tukar rupiah melemah secara signifikan terhadap dolar dan cadangan devisa Indonesia stagnan sepanjang periode 2012—2020.
Namun, dampak turunan dari fenomena tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi dapat diminimalisir dengan kebijakan fiskal ekspansif seperti pengurangan subsidi dan peningkatan defisit anggaran. Kebijakan tersebut terbilang cukup berhasil mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap stabil sepanjang periode taper tantrum.
Sayangnya, situasi taper tantrum jilid 2 mungkin akan banyak berbeda dibandingkan dengan jilid 1. Pada situasi saat ini, kita tidak dapat mengharapkan ruang fiskal yang cukup untuk melakukan kebijakan fiskal ekspansif karena telah banyak digunakan untuk menangani krisis pandemi Covid-19.
Perbedaan karakteristik taper tantrum jilid 1 dan 2 yang berasal dari faktor krisis ikutannya membuat penanganan dengan formula yang sama cenderung akan gagal. Taper tantrum jilid 1 hanya menjangkit sisi permintaan sehingga obatnya cukup dengan memberi lebih banyak nutrisi pada sisi permintaan. Sedangkan taper tantrum jilid 2, apabila benar-benar terjadi, memiliki krisis ikutan pada sisi penawaran yang disebabkan disrupsi rantai pasok global, kenaikan harga energi, dan ketidakstabilan geopolitik dunia.
Kemungkinan terburuknya adalah taper tantrum jilid 2 dapat menghasilkan fenomena stagnasi dan inflasi (stagflasi) apabila pemerintah salah menerapkan strategi.
Oleh karena itu, mempertimbangkan kondisi yang berjalan sekarang, alangkah baiknya Pemerintah Indonesia menerapkan strategi follow the wave. Kebijakan moneter sebaiknya cukup digunakan untuk merespons pergerakan posisi moneter AS dan Uni Eropa, karena keduanya memiliki dominant currency advantage di pasar uang dunia.
Di sisi lain, kebijakan fiskal sebaiknya lebih diarahkan untuk efisiensi pengeluaran yang tidak perlu alih-alih ekspansif dengan menambah defisit anggaran. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa strategi yang paling ampuh dalam menghadapi taper tantrum jilid 2 adalah mengusahakan reformasi struktural untuk meredam dampak negatif dari disrupsi yang terjadi di sisi penawaran.