Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Meski Harga Meroket, Tata Niaga Nikel Perlu Diperbaiki

Kenaikan harga ini akan memberikan efek jangka pendek sepanjang perang antara Rusia dan Ukraina. Pasalnya eskalasi di Eropa Timur memberikan ketidakpastian pada pasokan nikel dunia. 
Pekerja mengeluarkan biji nikel dari tanur dalam proses furnace di smelter PT. Vale Indonesia di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Sabtu (30/3/2019)./ANTARA-Basri Marzuki
Pekerja mengeluarkan biji nikel dari tanur dalam proses furnace di smelter PT. Vale Indonesia di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Sabtu (30/3/2019)./ANTARA-Basri Marzuki

Bisnis.com, JAKARTA - Penguatan harga nikel di pasar internasional dinilai menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola perdagangan nikel dalam negeri hingga ekspor produk olahan komoditas tersebut. 

Peneliti dari Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman menilai bahwa kenaikan harga ini akan memberikan efek jangka pendek sepanjang perang antara Rusia dan Ukraina. Pasalnya eskalasi di Eropa Timur memberikan ketidakpastian pada pasokan nikel dunia. 

Sementara itu, Indonesia sebagai negara produsen nikel terbesar di dunia juga bakal mendapat untung dalam jangka pendek. Namun apabila bertahan lama, para produsen akan menikmati untung cukup besar. Seperti PT Vale Indonesia, Tbk hingga PT Antam Tbk. 

“Tata niaga nikel domestik tentu harus diperketat jangan sampai terjadi ekspor ilegal,” katanya kepada Bisnis, Selasa (8/3/2022). 

Pengamat tambang itu menyebutkan bahwa momentum ini harus memacu pemerintah untuk tidak lagi serampangan mengirim bijih nikel. Pasalnya, kini ekspor nikel ore atau bijih nikel telah ditutup. Selain itu produsen juga telah diwajibkan membangun smelter. 

Dalam tata niaga nikel, penetapan harga patokan komoditas itu menggunakan skema Free on Board (FoB). Skema ini menempatkan pembeli atau smelter sebagai pihak yang menanggung biaya pengapalan dan asuransi. Namun begitu, smelter hanya membeli dengan skema CIF. 

Skema Cost, Insurance and Freight (CIF) menempatkan pihak penjual untuk menanggung segala urusan dalam pengapalan termasuk asuransi. Skema ini menjadikan perusahaan tambang tidak dapat menerima pendapatan secara maksimal. Pasalnya mereka harus menanggung biaya paling sedikit US$6 per ton. 

“Bagaimana dengan teman-teman [penambang yang berada] di lokasi jauh dengan smelter. Bisa mengcover sampai US$10 - US$15 per ton,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey. 

Di sisi lain, dia juga mendorong pemerintah untuk segera memberlakukan bea keluar kepada smelter yang mengekspor nickel pig iron dan ferro nickel. Pengenaan pajak ekspor tersebut diyakini akan memberikan dampak besar bagi penerimaan negara. 

Hingga kini, eksportir komoditas tersebut belum membayar bea keluar dalam ekspor dua jenis nikel olahan tersebut. Teranyar, pembahasan terkait pajak ekspor nikel masih tertahan di pemerintah. 

“Pajak ekspor nikel untuk pig iron dan ferro nickel belum berlaku. Sekarang pemerintah masih godok. Berharap pemerintah percepat regulasi pengenaan pajak ekspor. Agar negara diuntungkan dari sisi pemerintah,” terang Ferdy Hasiman. 

Dia menilai bahwa kebijakan ini harus dikawal secara bersama-sama. Dia mengkhawatirkan bile tidak dimonitor, bukan tidak mungkin rencana ini tinggal isapan jempol belaka. 

Pekan ini, harga nikel mengalami lompatan tertinggi sepanjang sejarah. Pada Selasa (8/3/2022), harga nikel yang dipublikasi London Metal Exchange mengalami penguatan tajam mencapai US$101.350 per dry metrik ton atau sekitar 110,80 persen dibandingkan perdagangan sebelumnya. 

Bursa London Metal Exchange mencatat harga nikel mengalami peningkatan tajam dengan penguatan 18.717 poin dari perdagangan akhir pekan sebelumnya menjadi US$48.211 per dmt pada Senin (7/3/2022).

Penguatan juga terjadi untuk kontrak April menyentuh US$48.131 per dmt. Lonjakan harga juga terjadi untuk kontrak Mai dengan meningkat 65,10 persen atau 18.964 poin dari perdagangan sebelumnya. 

Tradingeconomics menyebutkan bahwa lonjakan harga nikel ini setidaknya tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Penguatan harga ini disebabkan oleh adanya sanksi Barat terhadap Rusia, setelah negara itu menginvasi Ukraina. 

Langkah politik Presiden Rusia Vladimir Putin itu dinilai dapat memicu kekhawatiran akan pasokan logam. Sanksi yang diberikan kepada Rusia memberikan pukulan telak bagi pasokan nikel dunia. Pasalnya, Rusia menjadi produsen ketiga terbesar di dunia mencapai 250.000 ton pada 2021. 

Saat ini, Indonesia masih menjadi produsen terbesar nikel dunia dengan mencapai 1 juta ton pada 2021. Disusul Filipina 370.000 ton, Rusia, Kaledonia Baru 190.000 ton serta Australia 160.000 ton. 

Berbeda dengan negara lain, Indonesia telah menghentikan ekspor bijih nikel mentah. Kini RI hanya mengekspor nikel dalam bentuk olahan seperti ferro nickel dan nickel pig iron.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rayful Mudassir
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper