Cari berita
Bisnis.com

Konten Premium

Bisnis Plus bisnismuda Koran Bisnis Indonesia tokotbisnis Epaper Bisnis Indonesia Konten Interaktif Bisnis Indonesia Group Bisnis Grafik bisnis tv

Pasar Bebas dengan Bangladesh, Pelaku Tekstil: Ongkos Produksi Tak Seimbang

Rata-rata upah pekerja pabrik di Bangladesh sebesar US$93, sedangkan di Indonesia tingkat upah itu telah mencapai US$161 per bulan.
Reni Lestari
Reni Lestari - Bisnis.com 08 Maret 2022  |  13:18 WIB
Pasar Bebas dengan Bangladesh, Pelaku Tekstil: Ongkos Produksi Tak Seimbang
Pekerja menyelesaikan produksi celana di salah satu industri tekstil, Kopo, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (21/1 - 2021). /ANTARA

Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku industri tekstil memperingatkan pemerintah bahwa pengesahan Indonesia-Bangladesh Preferential Trade Agreement (IB-PTA) akan menyebabkan persaingan yang tidak sehat karena level of playing field yang berbeda.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API)  David Leonardi menjelaskan kinerja ekspor tekstil Bangladesh enam kali lebih kuat dibanding Indonesia, dengan tenaga kerja dan biaya energi lebih murah, serta jam kerja lebih panjang.

"Upah di mereka itu hanya US$93 [per bulan], sedangkan di Indonesia US$161. Jam kerjanya seminggu 48 jam, sementara di Indonesia hanya 40 jam saja," kata David dalam konferensi pers, Selasa (8/3/2022).

Adapun harga gas, industri tekstil dalam negeri khususnya di hilir, masih harus mengeluarkan US$11-12 per MMBTU. Sedangkan harga gas industri di Bangladesh bisa ditekan menjadi US$3,22 per MMBTU.

Di sisi lain, industri tekstil Bangladesh menikmati tarif listrik flat selama 24 jam. Sedangkan di Indonesia, ada perbedaan tarif dimana jam malam lebih tinggi. Hal lainnya, dari sisi geografis, Bangladesh juga lebih dekat dari pasar ekspor tradisional seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, sehingga ongkos pengapalan juga lebih murah.

"Jadi level of playing field-nya belum simbang," ujarnya.

Dia juga menekankan bahwa meskipun industri tekstil dalam negeri sudah lebih baik kondisinya dibanding 2020 dan 2021, masa pemulihan masih terus berjalan. Hal itulah yang menyebabkan persaingan bebas dengan tingkat daya saing yang tidak sama, akan mengganggu proses pemulihan industri yang sudah dimulai dengan sejumlah kebijakan proteksi pasar dalam negeri.

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi) mencatat kinerja ekspor garmen Bangladesh dengan kode HS 61-62 pada 2019-2020 sebesar US$36,13 miliar, berada di posisi kedua setelah China. Adapun Indonesia, berada di posisi 11 dengan nilai US$6,9 miliar pada periode tersebut.

Letak geografis Bangladesh yang dekat dengan China juga mempermudah distribusi bahan baku pakaian jadi dengan ongkos yang lebih murah.

Perundingan IB-PTA sebelumnya dimulai pada Januari 2018 dan ditargetkan selesai pada tahun ini.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :

tekstil Industri Tekstil bangladesh
Editor : Kahfi

Artikel Terkait



Berita Lainnya

    Berita Terkini

    back to top To top