Bisnis.com, JAKARTA - Penyebaran Covid-19 varian Omicron menggerus kinerja industri, meski tak sedalam Delta pada tahun lalu. Hal itu tercermin pada turunnya Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur yang pada Februari menyentuh 51,2, turun dari bulan sebelumnya 53,7.
IHS Markit mencatat, tingkat ekspansi yang lebih rendah dipengaruhi kenaikan kasus Covid-19 yang berimbas pada penurunan kepercayaan dalam berbisnis.
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan pengaturan work from home (WFH) 75 persen di Jakarta berimbas pada penurunan permintaan makanan kemasan. Selain itu, kenaikan harga komoditas dan keterlambatan masuknya bahan baku impor juga berakibat utilitas kapasitas produksi pabrikan yang stagnan.
Sementara harga bahan baku terus mengalami kenaikan, permintaan di pasar cenderung tidak bergerak.
Di sisi lain, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia tidak memandang peningkatan kasus Covid-19 varian Omicron sebagai ancaman serius bagi kinerja industri.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Bobby Gafur Umar mengatakan kondisi pasar akan kembali bergairah jelang Ramadan dan Lebaran yang juga akan berimbas pada produktivitas industri.
Baca Juga
"Yang penting indeks keyakinan konsumen naik. Kita juga dalam waktu dekat mau ada bulan puasa dan Lebaran, biasanya spending naik," ujar Bobby.
Menurut Bobby, hal yang paling membebani industri dalam negeri beberapa waktu ini yakni kenaikan harga bahan baku didorong inflasi yang tinggi di sejumlah mitra dagang utama seperti Amerika Serikat dan China.
Hal lain yang juga berpeluang mengganjal kinerja industri adalah reli kenaikan harga energi yang dipanasi oleh konflik Rusia-Ukraina. Jika sebelumnya kenaikan harga energi diprediksi bertahan enam bulan hingga satu tahun, maka berpeluang lebih panjang dengan adanya invasi Rusia ke Ukraina.
KENAIKAN PERMINTAAN
Ilustrasi Industri Makanan dan Minuman/Bisnis Indonesia
Meski sempat terpukul Omicron, industri tengah membangun optimisme perbaikan pasar jelang Ramadan dan Lebaran. Setelah dua tahun hari raya tak dapat dimaksimalkan karena pembatasan ketat, tahun ini diprediksi akan berbeda seiring perbaikan ekonomi dan tingginya tingkat vaksinasi.
Firman mengatakan produksi kembali digenjot mengantisipasi naiknya permintaan jelang Lebaran. Pada bulan ini, paling tidak pelaku industri alas kaki sudah mulai mendistribusikan barang ke pasar untuk persiapan Ramadan dan Lebaran.
"Kami sudah mulai optimistis aktivitas masyarakat hampir normal," lanjutnya.
Firman juga menggarisbawahi bahwa penurunan utilitas dan permintaan hanya terjadi untuk pasar domestik. Sebaliknya, industri berorientasi ekspor tidak terdampak peningkatan kasus varian Omicron.
Dia mengatakan produksi orientasi ekspor masih dalam posisi ekspansi, investasi baru tetap mengalir dengan rencana peningkatan kapasitas produksi sejumlah pabrikan.
Setali tiga uang, Fajar mengakui bahwa jelang Lebaran pabrikan mulai menimbun stok untuk mengantisipasi lonjakan permintaan. Dia pun memastikan tidak ada penurunan utilitas kapasitas produksi baik di hulu maupun hilir yang kini rata-rata berada di angka 85 persen.
Selain terpacu momentum Lebaran, membaiknya produksi juga didorong geliat sektor pariwisata dan pesta seiring pembukaan kembali Pulau Bali. Permintaan di sektor pariwisata diperkirakan akan terus membaik pada bulan ini.
"Industri pariwisata dan pesta sudah mulai bergeliat, demand sudah lebih baik daripada pertengahan Februari pada saat Omicron masih tinggi-tingginya," jelasnya.
Sementara itu, mengenai dampak konflik Rusia-Ukraina, Fajar mengatakan industriawan masih menunggu potensi upaya damai. Jika invasi Rusia terus berlangsung, harga minyak yang tinggi diprediksi akan bertahan dalam waktu yang cukup lama.
Selain itu, aliran ekspor dan pasokan bahan baku impor juga akan terhambat karena gangguan logistik yang disebabkan konflik dua negara tetangga itu.
"Jadi kami masih wait and see, kalau untuk [pasar] lokal sih oke," kata Fajar.
Adapun, Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengantisipasi akselerasi kenaikan harga bahan baku yang terpacu konflik Rusia-Ukraina.
Redma mengatakan di tengah kenaikan harga kapas, pengusaha tekstil biasanya beralih ke bahan baku lain seperti polyester dan rayon.
"Dari Rusia, kawasan Uzbekistan, kami ada impor kapas, tetapi tidak banyak. Biasanya mereka [pengusaha tekstil] mengalihkan ke rayon dan polyester," kata Redma.
Mengantisipasi pasar ekspor yang belum sepenuhnya normal, industri tekstil bergantung pada market dalam negeri untuk pemulihan di tahun ini.
Pasar Lebaran memang menjadi harapan terbesar pelaku industri untuk dapat mengejar pemulihan pada tahun ini. Jika tak ada aral melintang, geliat permintaan pada hari raya, dapat menjadi motor utama pemulihan industri pada tahun ini.