Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian menerapkan asas kehati-hatian dalam perundingan Indonesia-Bangladesh Preferential Trade Agreement (PTA), khususnya terkait industri tekstil karena kedua negara merupakan kompetitor bagi satu sama lain di pasar ekspor.
Plt. Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Ignatius Warsito mengatakan jangan sampai perjanjian dagang ini menghambat akselerasi substitusi impor di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT).
"Konsepnya harus win-win, terutama melihat kondisi TPT walaupun di dalam kebutuhan substitusi impor dapat rapor hijau, tetapi saya pikir perlu juga akselerasi lebih cepat," kata Ignatius, Senin (8/2/2022).
Dia melanjutkan di antara pohon industri tekstil, yang akan paling terdampak oleh perjanjian ini adalah sektor hilir khususnya pelaku industri kecil menengah (IKM). Alhasil, diperlukan kerja sama dengan Ditjen Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) untuk mendorong kekuatan industri tekstil hilir yang melibatkan IKM.
Sementara itu, Warsito juga mengakui pihaknya masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengintegrasikan sektor hulu tekstil yang erat kaitannya dengan industri kimia hulu.
Adapun, Direktur Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh menambahkan pihaknya telah melakukan peninjauan terhadap naskah perjanjian Indonesia-Bangladesh PTA. Elis menyoroti 133 HS code yang akan membanjiri pasar Indonesia dimana semuanya merupakan pakaian jadi yang banyak dikerjakan oleh IKM di dalam negeri.
Baca Juga
"Pasar di dalam negeri banyak sekali IKM. Kami sudah menyisir HS mana yang menjadi pertahanan Indonesia," kata Elis.
Indonesia-Bangladesh PTA belum disahkan, tetapi diperkirakan mengerucut pada tahun ini setelah melalui negosiasi sejak 2018. Di sisi lain, industri tekstil mencatatkan pencapaian substitusi impor tertinggi pada tahun lalu di antara sektor-sektor di bawah IKFT, yakni di angka 18,5 persen.
Namun, angka tersebut masih di bawah target 2021 sebesar 22 persen. Tahun ini, substitusi impor ditargetkan 35 persen. Elis mengatakan sektor pakaian jadi menjadi salah satu yang mencapai nilai substitusi impor tertinggi di atas 35 persen, diikuti produk tekstil lainnya dan alas kaki.
Adapun, sektor IKFT berkontribusi 60 persen terhadap total target capaian substitusi impor seluruh industri. "Capaian kami di 2021 itu mencapai 18,5 persen dengan baseline 2019. Kami di sektor TPT mengenakan kurang lebih 535 pos tarif," kata Elis.