Bisnis.com, JAKARTA - Penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap mulai marak di kalangan pelaku industri, seiring terbitnya Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No.26/2021.
Beleid anyar yang baru terbit pada Februari 2022 tersebut memungkinkan ekspor listrik 100 persen ke PLN, dari ketentuan sebelumnya hanya 65 persen. Selain itu, pemerintah juga membuka peluang perdagangan karbon dari PLTS atap.
Namun demikian, Sekjen Asosiasi Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan penggunaan PLTS atap masih terbatas pada utilitas dasar seperti gedung administrasi, penerangan jalan, dan area lain di luar fasilitas produksi.
"Sudah mulai banyak menggunakan itu [PLTS atap], yang ada di luar area produksi yang kritikal, karena yang kritikal itu pemakaiannya besar sekali dan 24 jam non stop," kata Fajar saat dihubungi belum lama ini.
Selain menggunakan listrik PLN, pabrik plastik dan petrokimia umumnya juga memanfaatkan bahan bakar gas yang sudah difasilitasi kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar US$6 per MMBTU.
Selain itu, untuk memangkas keluaran emisi karbon, gas hasil buang umumnya dimanfaatkan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mandiri milik pabrikan.
Guna menggalakkan prinsip-prinsip hijau di sektor industri, Fajar meminta tidak ada tumpang tindih standar. Diketahui, Kementerian Perindustrian mengeluarkan standar industri hijau (SIH), sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup, atau disebut Proper.
Fajar mengatakan kedua standar tersebut secara umum memiliki parameter yang hampir sama, sehingga seharusnya bisa dikolaborasikan untuk mengefisienkan proses audit kepada industri.
"Menurut saya jadi satu saja, kan sama parameternya, nambah-nambahin prosedur saja," ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Rachmat Hidayat mengatakan penggunaan PLTS atap masih terbatas. Salah satu penyebabnya disinyalir karena investasi yang cukup besar dan faktor penghematan biaya listrik yang dipandang belum signifikan oleh industri kecil.
Namun, seiring bertumbuhnya industri, Rachmat meyakini penggunaan energi hijau akan kian marak.