Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak yang luar biasa bagi seluruh sektor kehidupan di dunia, termasuk di Indonesia. Sejatinya, pandemi adalah masalah kesehatan, tetapi ternyata efeknya menjalar kuat ke seluruh sektor kehidupan dan sektor ekonomi menjadi yang terkena dampak paling besar.
Akibat kondisi ini, ekonomi Indonesia pernah masuk ke dalam jurang resesi. Pertumbuhan ekonomi tercatat sempat mengalami kontraksi empat kuartal berturut-turut yaitu dari kuartal II/2020 sampai dengan kuartal I/2021 di mana kontraksi terbesar terjadi pada kuartal II/2020 sebesar -5,32 persen.
Di tengah kondisi ekonomi yang tidak ideal tersebut, pemerintah harus mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 beserta efek turunannya. Kemudian muncul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 yang kemudian disempurnakan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Salah satu ketentuan yang diatur dalam UU tersebut adalah kewenangan pemerintah dalam menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Covid-19 berlangsung.
Hal ini agar pemerintah memiliki kelonggaran dan keleluasaan dalam menyusun program pengendalian pandemi Covid-19 beserta efek turunannya di tengah kondisi penerimaan negara yang berkurang dan beban pengeluaran yang bertambah besar.
Jangka waktu yang ditetapkan untuk relaksasi batasan defisit tersebut paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Artinya, pada Tahun Anggaran 2023 besaran defisit anggaran harus kembali normal menjadi paling tinggi 3% PDB.
Pemerintah bersama DPR berasumsi bahwa pada 2023 pandemi Covid-19 sudah terkendali dengan baik dan dalam waktu bersamaan kondisi ekonomi sudah kembali pulih dan berjalan normal seperti sediakala. Jika asumsi itu terpenuhi maka APBN dapat kembali disusun, dibahas, dan ditetapkan seperti masa sebelum pandemi Covid-19.
Dalam konteks tersebut maka peran dan fungsi APBN di dalam perekonomian kembali seperti semula yaitu sebagai pemantik ekonomi untuk mendorong peran swasta yang lebih besar.
Tahun 2021 menjadi periode yang cukup menggembirakan. Di tengah badai pandemi Covid-19 gelombang kedua, Indonesia mampu keluar dari jurang resesi ekonomi. Prestasi yang luar biasa di tengah kondisi yang serba tidak ideal.
Dengan berkaca pada kondisi itu maka dapat dipahami jika pemerintah, DPR, dan masyarakat memiliki ekspektasi tinggi dalam menyongsong 2022. Tahun ini diharapkan dapat menjadi momentum pemulihan ekonomi dan terlepas dari jeratan pandemi Covid-19.
Kemudian pemerintah dan DPR menyepakati defisit APBN 2022 sebesar Rp868,02 triliun atau setara 4,85% PDB. Angka yang sengaja didesain untuk mendekati angka 3 persen. Namun, ternyata ekpektasi yang terbangun pada 2021 sepertinya mulai memudar seiring dengan masih tingginya kasus harian baru Covid-19 saat ini akibat merebaknya varian Omicron.
Alhasil, tingkat ketidakpastian ekonomi juga kembali meningkat. Bahkan beberapa pihak sudah mulai menyuarakan kembali untuk membatasi seluruh aktivitas masyarakat. Jika hal ini yang terjadi, seluruh aktivitas perekonomian akan kembali terhenti.
Di tengah aktivitas perekonomian yang tidak berjalan, sangat sulit mengharapkan peran serta masyarakat untuk menggerakkan roda perekonomian. Pemerintah dituntut untuk kembali melakukan intervensi supaya roda perekonomian tetap berjalan dan masyarakat tetap mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya.
Hal ini sangat tidak mudah. Pemerintah akan dihadapkan pada dilema. Bersiap menghadapi kenyataan pemasukan pemerintah kembali mengalami penurunan sementara upaya belanja ekstra tidak terhindarkan. Pada kondisi ini maka penurunan defisit anggaran menjadi 3 persen PDB pada 2023 menjadi hal yang sangat sulit dilakukan.
Alternatif kebijakan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 sangat terbatas. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintah selain kembali memperlebar defisit yang berdampak pada semakin membengkaknya jumlah utang negara.
Alhasil, hal mendesak saat ini bukan terletak pada mengembalikan jumlah defisit ke angka 3 persen tetapi bagaimana mendorong aktivitas perekonomian tetap berjalan di tengah pandemi Covid-19 yang masih tinggi dan kembali meningkat. Tak mungkin pemerintah memberikan stimulus jika ruang fiskalnya dibatasi dengan kebijakan pembatasan defisit anggaran.
Utang yang membengkak karena defisit yang melebar bisa dikurangi secara bertahap jika roda perekonomian kembali berjalan pada tingkat optimalnya. Pada kondisi ekonomi yang optimal, pertumbuhan ekonomi akan lebih besar dari bunga utangnya, sehingga pemerintah memiliki kemampuan yang cukup untuk menutupinya.
Kondisi ini hanya terwujud jika pertumbuhan ekonomi berkualitas, antara lain menjadikan utang tersebut menjadi utang produktif. Utang yang mampu menciptakan aktivitas ekonomi yang menghasilkan keuntungan yang melebihi bunga utangnya.
Jadi, pemerintah dan DPR tidak perlu terburu-buru dan terlalu percaya diri untuk mengembalikan angka defisit anggaran ke angka 3 persen pada 2023. Bersikaplah realistis, bukan didasarkan pada kepentingan politis untuk pesta politik 2024 mendatang.