Bisnis.com, JAKARTA – Fenomena kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng menjadi ironi karena terjadi di negara penghasil minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Melihat kondisi ini, Ekonom Bhima Yudhistira Adhinegara menyayangkan hal tersebut. Dia melihat ada beberapa keterlambatan aksi yang memperparah kelangkaan ini.
Menurutnya, keterlambatan tata niaga sawit memperparah kondisi saat ini. Perlu diperhatikan bagi para produsen dalam kewajibannya melaporkan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).
Ketakutan produsen sehingga menimbun minyak goreng seperti yang terjadi beberapa hari lalu dapat dimungkinkan karena mengelak kewajiban DMO untuk CPO.
“Tata niaga sawitnya harus ditegakkan, harus bener-bener jalan di level produsen, tata niaga untuk menyiapkan DMO terlambat justru terjadi ketika harga sedang liar, tidak dalam kondisi normal, terlambat,” tegas Bhima, Minggu (20/2/2022).
Sementara itu, B30 juga dinilai menyedot pasokan CPO untuk pangan. Akibatnya, kedelai dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati tersebut. Lebih jauhnya, membuat kebutuhan kedelai meningkat dan harganya melonjak.
Bhima turut mengatakan bahwa banyak ritel enggan memajang minyak goreng di etalase yang padahal stoknya ada, karena tidak ingin menjual sesuai dengan HET. Padahal, teknik tersebut dapat mengakibatkan ritel terkena sanksi.
“Yang melakukan itu gak hanya satu retailer yang modern tapi juga di warung-warung yang tradisional juga melakukan hal yang sama,” lanjutnya.
Menurutnya, pemerintah dapat melakukan subsisi selisih HET dengan harga keekonomian agar penjual tidak takut rugi dan dapat menjual di bawah HET.