Bisnis.com, JAKARTA - Tidak masuknya sektor tekstil dalam kebijakan insentif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor pada sejumlah disambut baik oleh pelaku industri. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.3/2022, industri tekstil dan alas kaki tidak masuk sektor yang mendapat perpanjangan insentif PPh pasal 22 impor dan PPh pasal 25.
Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menyatakan kebijakan itu dapat mendukung penguatan struktur industri tekstil dari hulu ke hilir. Sekjen APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan dengan pengadaan impor tak lagi mendapat insentif, akan memberikan kesempatan bagi industri bahan baku tekstil di dalam negeri untuk bertumbuh.
"Kami sangat setuju insentif itu dihapuskan [untuk industri tekstil. Kami kan sudah punya integrasi hulu-hilir yang bagus. Jangan sampai impornya dikasih insentif, yang akhirnya merusak tatanan integrasi hulu-hilir," kata Redma kepada Bisnis.com, Rabu (2/2/2022).
Selain itu, pengadaan bahan baku dari luar negeri sebenarnya juga sudah diatur dengan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) dan kawasan berikat. "Jadi kami tidak khawatir meskipun insentifnya dicabut, ekspornya tidak akan terganggu," lanjutnya.
Namun demikian, Redma mengatakan dengan kondisi arus kas yang belum sepenuhnya pulih, industri tetap membutuhkan insentif PPh pasal 25. Sektor tekstil bukan merupakan sektor penerima insentif tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie mengatakan pemulihan di industri alas kaki terjadi tidak merata, terutama pada perusahaan industri dengan orientasi domestik.
Baca Juga
Menurut Firman, hal itu tetap harus menjadi perhatian pemerintah untuk alokasi insentif. "Saya rasa tetap harus ada perhatian untuk industri alas kaki, khususnya untuk kelompok yang masih terdampak Covid-19," kata Firman.
Sebaliknya, kelompok perusahaan industri yang berorientasi ekspor mampu bertumbuh dengan limpahan pesanan dari negara lain, tidak demikian dengan pelaku dengan fokus utama pasar dalam negeri yang sangat bergantung pada penanganan pandemi. Terlebih, ada ancaman lonjakan galur Omicron yang berisiko menghambat pemulihan.
"Kami sedang berharap pasar sudah mulai normal, tetapi ternyata malah menghadapi badai Omicron. Pastinya kami tidak baik-baik saja, jadi kalau kami dikeluarkan [dari sektor penerima insentif], agak aneh," ujar Firman.