Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Alasan Pentingnya Exit Strategy dalam Agenda Prioritas Presidensi G20

Exit strategy harus dilakukan secara well calibrated, well communicated, dan well planned untuk menjaga stabilitas sehingga pemulihan ekonomi dapat tetap terjaga.
(kiri ke kanan) Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono, Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus, Menkominfo Johnny G Plate, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Chair Business 20 Shinta Widjaja Kamdani dan Co Chair Youth 20 Michael Victor Sianipar berjalan bersama saat Opening Ceremony Presidensi G20 Indonesia 2022 di Jakarta, Rabu (1/12/2021)./Antara
(kiri ke kanan) Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono, Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus, Menkominfo Johnny G Plate, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Chair Business 20 Shinta Widjaja Kamdani dan Co Chair Youth 20 Michael Victor Sianipar berjalan bersama saat Opening Ceremony Presidensi G20 Indonesia 2022 di Jakarta, Rabu (1/12/2021)./Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menyampaikan bahwa exit strategy atau normalisasi kebijakan usai quantitative easing, menjadi salah satu agenda prioritas dalam Presidensi G20 Indonesia.

Exit strategy, kata Dody, harus dilakukan secara well calibrated, well communicated, dan well planned untuk menjaga stabilitas sehingga pemulihan ekonomi dapat tetap terjaga.

“Hal ini menjadikan exit strategy sebagai salah satu agenda prioritas Presidensi G20 dalam mewujudkan pemulihan bersama,” katanya dalam Seminar Internasional G20 yang mengangkat tema ‘Safeguarding Growth Momentum’, Rabu (26/1/2022).

Dody menyampaikan, ekonomi Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang positif, didukung oleh sinergi bauran kebijakan yang ditempuh di tengah ketidakpastian yang tinggi.

BI memperkirakan ekonomi Indonesia 221 akan tumbuh pada kisaran 3,2 persen hingga 4 persen pada 2021.

Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi akan meningkat pada kisaran 4,7 persen hingga 5,5 persen pada 2022, ditopang oleh konsumsi swasta, investasi dan ekspor di tengah risiko terkait pandemi Covid-19 yang tetap perlu diwaspadai.

Dody menyampaikan, BI akan mengarahkan fokus kebijakan moneter pada 2022 untuk menjaga stabilitas dengan memitigasi dampak dari normalisasi di negara maju.

Sementara itu, kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar uang serta ekonomi keuangan inklusif dan hijau akan diarahkan untuk mendukung pemilihan ekonomi.

Pada kesempatan yang sama, Deputy Director General, Ministry of Economy, and Finance South Korea, Byungsik Jung, menyampaikan pentingnya pengelolaan utang dan aliran modal dalam menjaga momentum pemulihan ekonomi global.

Normalisasi di negara maju akan meningkatkan tekanan terkait dengan utang dan aliran modal sehingga diperlukan dukungan dan kerjasama global dalam mengatasi tantangan tersebut.

Senada dengan itu, Chief Economist Citibank Indonesia Helmi Arman, menyampaikan bahwa normalisasi akan berdampak pada aliran modal, meskipun beberapa negara emerging market diperkirakan tetap mendapat persepsi yang positif dari investor.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Editor : Farid Firdaus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper