Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah industri dalam negeri harus menghadapi awal tahun dengan tantangan ketersediaan dan harga bahan baku.
Industri mebel dan furnitur, misalnya, mengalami kelangkaan bahan baku rotan sejak tahun lalu. Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan meskipun permintaan cukup tinggi, tetapi bahan baku berupa rotan sulit didapat.
Sementara itu, kayu, meski ketersediaannya terbatas, sejauh ini masih dapat disuplai oleh hutan rakyat.
"Dengan pertumbuhan omzet hari ini, memang bahan baku yang menjadi krusial. Belakangan rotan jadi hilang di permukaan," kata Sobur dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi VI DPR, Senin (24/1/2022).
Sobur menerangkan dengan langkah Amerika Serikat mengurangi impor furnitur dari China karena perang dagang, ada kekosongan pasar yang dimanfaatkan oleh pelaku industri dalam negeri.
Peluang pasar itu yang menjadi pendorong utama pertumbuhan kinerja ekspor mebel dan kerajinan Indonesia yang tumbuh 25,89 persen menjadi US$3,43 miliar sepanjang tahun lalu.
Baca Juga
Namun, Indonesia masih kalah jauh dari Vietnam dengan ekspor furniturnya ke AS mencapai US$14 miliar. "Kalau mau menjadi eksportir terkuat di kawasan Asean, atau bisa mengalahkan Vietnam, maka yang pertama adalah suplai bahan baku harus aman," lanjut Sobur.
Dia pun mengusulkan pengaturan ulang tata niaga bahan baku furnitur untuk dapat mencapai target pertumbuhan 16 persen per tahun, hingga nilai ekspor dapat menembus US$5 miliar pada 2024.
Di sisi lain, industri kosmetika juga mengalami kendala bahan baku akibat belum terurainya kemacetan rantai pasok global.
Ketua Bidang Perdagangan Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) Shelly Taurhesia mengatakan mengatakan 90 persen bahan dasar kosmetik dalam negeri masih didatangkan dari impor.
Selain harga-harga yang melonjak, Shelly mengatakan yang juga menjadi tantangan adalah kesiapan para pemasok untuk memenuhi sertifikasi halal.
Berdasarkan Undang-Undang No.33/2014 tentang jaminan produk halal, seluruh produk makanan minuman, obat, dan kosmetik harus tersertifikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketentuan tersebut mulai berlaku pada 2019 dengan masa tenggang atau grace period selama lima tahun.
"Kami sudah banyak beraudiensi dengan BPJPH [Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal] sudah dicanangkan pengakuan lembaga halal dari luar negeri," ujarnya.
Shelly mengatakan perlu ada simplifikasi sertifikasi halal terutama untuk impor bahan baku mengingat kemandirian industri kosmetik dalam negeri yang belum terbentuk.
Adapun, menurut catatan Perkosmi, pasar kosmetik Indonesia pada 2021 bernilai US$6,34 miliar dengan potensi pertumbuhan tahunan rata-rata 5,34 persen sampai dengan 2026. Indonesia juga tercatat sebagai pasar produk halal terbesar di dunia dari segi pengeluaran yang mencapai US$4,19 miliar untuk kosmetik saja pada 2020.