Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Apindo: Biaya Produksi Bisa Naik Imbas Pelemahan Rupiah

Fluktuasi nilai tukar rupiah memang membawa berkah bagi eksportir, tetapi sektor manufaktur yang bergantung pada bahan bakar impor menjadi tertekan.
Aktivitas salah satu pabrik. / Bloomberg-Qilai Shen
Aktivitas salah satu pabrik. / Bloomberg-Qilai Shen

Bisnis.com, JAKARTA — Fluktuasi nilai tukar rupiah masih menjadi tantangan nyata bagi dunia usaha. Terlebih, pelemahan rupiah berpotensi mengerek biaya produksi dan mempersempit margin usaha, termasuk bagi eksportir.

Mengutip data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 18 poin atau 0,11% ke level Rp16.520 per dolar AS pada Jumat (9/5/2025). Pada saat yang sama, indeks dolar AS juga melemah 0,24% ke 100,39.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan pihaknya mencermati dinamika nilai tukar rupiah, termasuk pelemahan tajam di pasar non-deliverable forward (NDF) yang sempat menembus Rp17.100 per dolar AS pada awal April, serta langkah intervensi yang dilakukan Bank Indonesia (BI).

Untuk diketahui, pasar NDF mengacu pada kontrak derivatif valuta asing (valas) untuk membeli atau menjual mata uang di masa depan dengan kurs yang disepakati.

Shinta menilai penurunan cadangan devisa sebesar US$4,6 miliar pada April 2025 menandai konsekuensi langsung dari kebijakan stabilisasi tersebut.

Namun, Apindo menyambut baik respons cepat dan terukur dari otoritas moneter, terutama dalam menstabilkan ekspektasi pelaku pasar dan mencegah pelemahan rupiah yang lebih dalam.

“Kami memandang fluktuasi nilai tukar masih menjadi tantangan nyata bagi dunia usaha, terutama karena tekanan global dan kebijakan eksternal belum menunjukkan kepastian arah dalam jangka pendek,” kata Shinta kepada Bisnis, dikutip pada Senin (12/5/2025).

Menurutnya, fluktuasi nilai tukar rupiah memiliki keuntungan sementara bagi pelaku usaha berbasis ekspor, misalnya di sektor komoditas pertambangan dan kehutanan.

Kendati demikian, Shinta menilai keuntungan ini hanya bersifat terbatas, karena banyak sektor industri, terutama manufaktur, masih sangat bergantung pada bahan baku dan komponen impor.

“Pelemahan rupiah justru berpotensi mengerek biaya produksi dan mempersempit margin usaha, termasuk bagi eksportir,” ujarnya.

Sementara dari sisi impor, pelemahan rupiah juga memberi tekanan besar pada pelaku usaha yang sangat tergantung pada impor, khususnya bahan baku utama impor. Pasalnya, ungkap Shinta, kenaikan biaya input akan menggerus margin dan dapat mendorong harga jual menjadi melonjak.

Alhasil, inflasi akan terdorong karena proses transmisi imported inflation yang dapat berujung pada penurunan daya beli masyarakat dan pelemahan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Hal ini mengingat mayoritas mesin ekonomi yang berasal dari konsumsi masyarakat.

“Kenaikan harga barang impor atau komponen dalam mata uang asing akan mengganggu struktur biaya dan daya saing, terutama untuk pelaku UMKM yang lebih sensitif terhadap fluktuasi biaya,” tuturnya.

Terlebih lagi, lanjut Shinta, Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia anjlok ke level 46,7 pada April 2025, menandai kontraksi terdalam sejak pandemi.

Shinta menyebut kondisi ini menunjukkan sektor riil tidak hanya menghadapi tekanan biaya input, melainkan juga penurunan pesanan dan permintaan.

“Yang kami khawatirkan bukan hanya volatilitas jangka pendek, tetapi juga ketidakpastian nilai tukar yang dapat mengganggu perencanaan bisnis dan investasi,” tuturnya.

Di sisi lain, Apindo berharap stabilisasi nilai tukar tidak hanya mengandalkan instrumen intervensi pasar, melainkan juga ditopang oleh strategi jangka menengah yang lebih komprehensif.

“Karena stabilitas rupiah adalah prasyarat penting bagi keberlanjutan usaha dan pertumbuhan ekonomi nasional,” imbuhnya.

Untuk itu, Apindo memandang pentingnya sinergi antara kebijakan moneter, fiskal, dan perdagangan untuk mengatasi dampak pelemahan rupiah dan risiko kurs.

Adapun untuk mengatasi dampak pelemahan rupiah dan risiko kurs, Apindo merekomendasikan agar BI menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang lebih mencerminkan kondisi fundamental, serta menyeimbangkan antara kepentingan daya saing ekspor dan melindungi konsumsi domestik, khususnya masyarakat menengah-bawah.

Selain itu, perlu melakukan diversifikasi sumber bahan baku dengan produk lokal untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan risiko valas yang ditimbulkan. Serta, menguatkan koordinasi stabilitas harga dan daya beli dengan memastikan kebutuhan domestik dengan kebijakan impor/ekspor telah matching serta alokasi dan program subsidi yang terarah.

Apindo juga merekomendasikan untuk mengoptimalkan kebijakan devisa hasil ekspor (DHE), misalnya melalui pemberian berbagai insentif menarik.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper