Bisnis.com, JAKARTA — Volatilitas rupiah yang tengah terjadi tidak hanya merugikan dunia usaha, tetapi turut memberikan keuntungan yang kompetitif yang dapat dimanfaatkan.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menekankan bahwa memang volatilitas rupiah yang terjadi saat ini tidak terlepas dari dinamika global yang dipengaruhi geopolitik.
Belum lagi, ketegangan perdagangan, serta kebijakan moneter, khususnya dari AS, yang memberikan dampak terhadap pasar keuangan, termasuk fluktuasi nilai tukar.
“Dampaknya bagi dunia usaha, volatilitas rupiah dapat mempengaruhi biaya produksi, terutama bagi sektor yang bergantung pada bahan baku impor,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip pada Minggu (11/5/2025).
Selain itu, volatilitas nilai tukar juga dapat meningkatkan biaya pembiayaan atau pinjaman bagi perusahaan yang memiliki utang dalam mata uang asing sehingga mempengaruhi cash flow bisnis.
Di sisi lain, bagi usaha/sektor ekspor, pelemahan alias depresiasi rupiah dapat memberikan keuntungan kompetitif. Dari sisi keuntungan, produk-produk Indonesia menjadi lebih terjangkau di pasar internasional, yang dapat mendorong peningkatan ekspor dan memperbaiki kinerja sektor perdagangan.
Baca Juga
“Hal ini tentu menjadi peluang, terutama bagi perusahaan yang berorientasi ekspor, untuk meningkatkan daya saing mereka,” tutur Susi.
Melihat sisi lainnya, secara umum volatilitas rupiah adalah salah satu faktor yang turut mempengaruhi inflasi dan daya beli masyarakat.
Di mana ketika rupiah melemah, harga barang impor cenderung naik, yang dapat menyebabkan inflasi domestik.
“Kemenko Perekonomian bersama Bank Indonesia dan K/L terkait lainnya senantiasa melakukan koordinasi untuk memastikan bahwa inflasi tetap terjaga dan terkendali,” lanjutnya.
Adapun, volatilitas diperkirakan masih akan terjadi, terlbih akibat repatriasi dividen di bulan Mei dan siklus puncak pembayaran utang luar negeri di bulan Juni berpotensi menambah tekanan jangka pendek terhadap rupiah.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede memprediksikan rupiah akan berada di kisaran Rp16.400 per dolar AS hingga Rp16.600 per dolar AS pada akhir semester I/2025.
“Dengan fluktuasi dipengaruhi oleh sentimen pasar global, hasil FOMC Juni, dan realisasi arus modal portofolio,” tuturnya.
Menurut pemberitaan Bisnis dalam sepekan terakhir, rupiah dibuka menguat ke posisi Rp16.429 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (5/5/2025). Kemudian rupiah ditutup melemah pada perdagangan akhir pekan, Jumat (9/5/2025) pada level Rp16.520 per dolar AS.