Bisnis.com, JAKARTA — Peningkatan nilai tambah hasil tambang mineral melalui program hilirisasi dinilai masih memerlukan perhatian lebih. Pasalnya, kapasitas hilirisasi yang masih rendah di dalam negeri membuat peningkatan nilai tambah menjadi kurang optimal.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi berpendapat bahwa ekspor mineral mentah selama ini telah menyumbang devisa bagi negara. Kendati demikian, ekspor mineral mentah hanya memiliki nilai tambah yang rendah.
Oleh karena itu, pelarangan ekspor mineral mentah dan kewajiban hilirisasi dapat meningkatkan nilai tambah bagi ekspor komoditas.
"Namun akselerasi masih lambat dan volumenya masih rendah. Masalahnya, kapasitas hilirisasi belum mencapai kapasitas optimal," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (23/1/2022).
Fahmy menjelaskan, nikel merupakan salah satu komoditas mineral yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan, namun masih belum optimal dikembangkan.
Padahal, Fahmy menilai hilirisasi timah, nikel, tembaga, perak dan emas diharapkan dapat menaikan nilai tambah yang memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia.
"Kebijakan pemerintah harus mendorong dan memfasilitasi investasi hilirisasi dengan memberikan insentif fiskal dan kemudahan investasi," ungkapnya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan secara prinsip teknis dan bisnis peningkatan nilai tambah atau hilirisasi dengan sendirinya akan meningkatkan nilai ekspor, karena dengan adanya pengolahan maka harga jual menjadi lebih tinggi sehingga secara total nilai penjualan pasti akan meningkat.
Menurut dia, peluang dan tantangan peningkatan nilai tambah terletak pada dinamika dalam negeri dan luar negeri. Kebutuhan dalam negeri yg meningkat akan menjadi tantangan tersendiri. Sementara itu, dari luar negeri, kebijakan dagang umumnya yang menjadi tantangan.
"Saya kira tujuannya positif, namun perlu dipersiapkan industri pengguna dalam negeri untuk dapat menyerap. Termasuk dalam tingkatan harga yang wajar," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (23/1/2022).