Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan bahwa terus memantau dan mengantisipasi perkembangan kebijakan moneter global, terutama normalisasi kebijakan moneter dari bank sentral Amerika Serikat (AS).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, bersama dengan Bank Indonesia (BI), sudah memantau arah kebijakan moneter dunia sejak awal 2021. Hal itu diawali oleh terjadinya kenaikan inflasi di sejumlah negara.
Selama 2021 hingga awal 2022, lonjakan inflasi yang tinggi membuat otoritas moneter global khususnya AS kerap memberikan sinyal percepatan pengurangan quantitative easing (QE) serta rencana menaikkan tingkat suku bunga acuan. Kendati demikian, Febrio menilai Indonesia sudah cukup mengantisipasi arah kebijakan tersebut.
"Kita sudah dapat bacaan-bacaan [kondisi] ini cukup early sehingga kita antisipasi. Bukan berarti pasti aman. Kita selalu bulan demi bulan, minggu demi minggu selalu memantau dan mengantisipasi," jelas Febrio pada taklimat media, Rabu (12/1/2022).
Febrio menyebut koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter di Indonesia sudah dilakukan. Koordinasi kebijakan dilakukan dalam menetapkan target inflasi, kondisi stabilitas sistem kauangan, aliran modal, hingga kurs. "Ini sudah jadi satu paket. Tidak terpisah-pisah," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ekonom Bank Permata Josua Pardede meyakini bahwa normalisasi atau tapering yang akan dilakukan saat pandemi Covid-19, tidak akan menyebabkan dampak tantrum seperti krisis pada 2013 silam.
Baca Juga
Hal ini karena kondisi perekonomian fundamental yang cukup berbeda antara krisis saat pandemi dan delapan tahun lalu. Josua menyebut neraca transaksi berjalan, inflasi, likuiditas pasar keuangan, dan sisi fiskal Indonesia saat ini lebih baik dari kondisi 2013.
"Ini kita melihat dampak dari tapering ini mestinya bisa kita mitigasi. Artinya, harapannya tidak terjadi tantrum di pasar keuangan global, terutama pasar negara berkembang," ujarnya.