Bisnis.com, JAKARTA – Para peritel memilih melakukan substitusi ke barang lokal dalam menyikapi tren kenaikan harga barang konsumsi. Barang dengan komponen impor tinggi dinilai lebih rentan mengalami gejolak harga dan berdampak pada penjualan.
“Peritel menyiapkan strategi substitusi ke produk lokal karena cenderung lebih stabil. Ini utamanya di produk FMCG [fast moving consumer goods],” kata Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah, Selasa (4/1/2022).
Budihardjo mengatakan, kenaikan harga tidak bisa dihindari untuk produk-produk yang memang didatangkan dari luar negeri, tetapi dia memastikan penjualan kelompok produk itu tetap terjaga karena memiliki segmen tersendiri.
Dia memberi contoh pada produk makanan tertentu dengan pangsa pasar ekspatriat atau pakaian bermerek pada kelompok kelas menengah.
“Kami menjaga produk-produk dengan segmen pasar yang luas, seperti bahan pangan pokok dan kebutuhan sehari-hari. Produk inilah yang kenaikan harganya akan sangat berpengaruh,” lanjutnya.
Meski terdapat risiko penyesuaian harga dan kondisi daya beli masyarakat yang belum merata, Budihardjo meyakini ekspansi bisnis ritel tetap akan terjaga.
Dia menilai, perbaikan ekonomi yang berlanjut tetap menjadi momentum bagi peritel untuk mengoptimasi peluang.
“Ekspansi bisa lebih baik daripada 2021, selama penanganan pandemic Covid-19 dan vaksinasi terus berjalan dan diperkuat,” katanya.
Sebagaimana dilaporkan IHS Markit, masalah lonjakan harga bahan baku masih memberi tekanan kepada industri di Tanah Air, meski PMI manufaktur melanjutkan tren ekspansi di level 53,5 pada Desember 2021.
IHS Markit menyebut, kenaikan biaya input dan output masih dirasakan para produsen dengan inflasi harga input mencapai level tertinggi dalam 8 tahun terakhir.
Para responden juga menyebutkan bahwa kenaikan biaya terjadi pada semua bahan baku dan ongkos logistik. Situasi ini membuat para pelaku usaha memutuskan untuk meneruskan harga ke konsumen.