Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Melirik Harga Barang di Minimarket usai PPN 12%, Tetap atau Naik?

Bisnis berbelanja di sejumlah minimarket dan supermarket pada penghujung 2024 dan awal 2025 setelah terbit aturan baru PPN. Bagaimana perbedaan harganya?
Annasa Rizki Kamalina, Surya Dua Artha Simanjuntak, Wibi Pangestu Pratama
Senin, 6 Januari 2025 | 08:55
Pengunjung berbelanja di salah satu minimarket di Jakarta. / Bisnis-Abdurachman
Pengunjung berbelanja di salah satu minimarket di Jakarta. / Bisnis-Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Salah satu alasan penolakan keras publik terhadap tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12% adalah kekhawatiran naiknya harga barang-barang, yang akan menjadi masalah besar saat daya beli melemah. Setelah ketentuan baru terbit pada detik-detik terakhir pergantian tahun, bagaimana harga barang di minimarket dan supermarket saat ini?

Sore hari pada 31 Desember 2024, jelang pergantian tahun, Bisnis mengunjungi salah satu minimarket ritel di daerah Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Bisnis membeli sejumlah item seperti tisu dan beberapa bungkus camilan.

Total belanjaan senilai Rp89.500. Dalam struk pembeliannya, tertera pajak pertambahan nilai (PPN) belanjaan senilai Rp10.911 dengan dasar pengenaan pajak (DPP) Rp99.189.

Artinya, belajaan tersebut masih dikenai tarif PPN 11% (Rp10.911 / Rp99.189 × 100% = 11%).

Pada penghujung 2024 memang tarif PPN masih berlaku 11%, tetapi sudah ada wacana bahwa pemerintah akan menaikkan pajak saat memasuki tahun baru. Dikabarkan bahwa sejumlah pedagang dan usaha sudah ancang-ancang menaikkan harga jika PPN menjadi 12%.

Kurang lebih 60 menit setelah selesai bertansaksi dengan kasir minimarket berseragam biru itu, Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan keterangan pers di Kantor Kementerian Keuangan.

Prabowo dan Sri Mulyani mengumumkan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 hanya akan berlaku untuk barang mewah yang selama ini menjadi objek pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

Padahal, dalam keterangan pers beberapa hari sebelumnya, pemerintah menyatakan PPN 12% akan berlaku umum—bukan hanya untuk barang mewah.

Tidak lama setelah pengumuman oleh Prabowo dan Sri Mulyani, pemerintah mengundangkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131/2024. Dalam beleid itu, tarif PPN 12% tetap berlaku untuk semua barang/jasa, tetapi dasar pengenaan pajak (DPP) dibedakan menjadi dua yaitu untuk barang mewah dan barang non-mewah.

Pertama, pengenaan PPN untuk barang mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual/nilai impor sebesar 12/12. Kedua, pengenaan PPN untuk barang/jasa lain atau yang bukan tergolong mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain (harga jual/nilai impor/nilai pengganti) sebesar 11/12.

Dengan pengaturan DPP tersebut, barang non-mewah hanya akan terkena besaran pajak 11% meski sebenarnya tarif PPN yang berlaku adalah 12%.

Beberapa hari kemudian, tepatnya 4 Januari 2025, Bisnis kembali mencoba berbelanja di minimarket yang sama. Ada sejumlah barang serupa yang dibeli saat menjelang pergantian tahun, seperti tisu dan camilan.

Dari sisi harga, notabenenya tidak ada perubahan signifikan untuk item-item tersebut. Harga tisu yang dibeli naik Rp300 dan harga camilan-camilan tidak berubah.

Bisnis juga membeli beberapa buah-buahan seperti pisang, apel, dan jambu kristal. Sebelumnya, Sri Mulyani menyatakan barang/jasa kebutuhan pokok masyarakat seperti buah-buahan terbebas dari PPN.

Dalam struk pembelian, terdapat penjelasan buah-buahan yang dibeli itu memang tergolong ke item "PPN dibebaskan".

Total belanja tersebut kali ini Rp132.400. Kendati demikian, Rp72.500 di antaranya merupakan jumlah PPN dibebaskan (total harga jual buah-buahan).

Tertera PPN belanjaan saya sebesar Rp7.155 dengan DPP sebesar Rp65.045. Artinya, belajaan masih dikenai tarif PPN 11% (Rp7.155 / Rp65.045 × 100% = 11%).

Struk belanja minimarket Indomaret di Bendungan Hilir, Jakarta pada 31 Desember 2024 (kiri) dan 4 Januari 2025 (kanan). / Bisnis-Surya Dua Artha Simanjuntak
Struk belanja minimarket Indomaret di Bendungan Hilir, Jakarta pada 31 Desember 2024 (kiri) dan 4 Januari 2025 (kanan). / Bisnis-Surya Dua Artha Simanjuntak

Kondisi berbeda terjadi saat Bisnis berbelanja di salah satu supermarket yang berada di Karawang, Jawa Barat. Bisnis membandingkan harga barang-barang seperti bumbu masak, teh celup, susu kotak, dan sabun dalam waktu berdekatan, yakni pada 31 Desember 2024 dan 1 Januari 2025.

Terpantau tidak ada perbedaan harga dari barang-barang tersebut setelah pergantian tahun. Bedanya, saat berbelanja pada penghujung 2024 sedang ada diskon untuk teh celup yang dibeli Bisnis.

Dalam transaksi 31 Desember 2024, tertera PPN senilai Rp1.994 dari DPP sebesar Rp18.126. PPN yang dikenakan masih sebesar 11%.

Lain halnya, dalam transaksi 1 Januari 2025 tertera PPN senilai Rp2.278 dari DPP senilai Rp18.982. Artinya, PPN yang dikenakan menjadi sebesar 12%.

Dalam konferensi pers terbaru soal PPN 12%, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kemenkeu menyampaikan bahwa pemerintah memaklumi apabila terdapat usaha yang belum menyesuaikan sistem perhitungan PPN, sehingga terdapat masa transisi untuk pemberlakuan variabel 11/12 dalam DPP dan pengenaan PPN 12% untuk barang-barang mewah.

Struk belanja supermarket Super Indo di Karawang, Jawa Barat pada 31 Desember 2024 (kiri) dan 1 Januari 2025 (kanan). / Bisnis-Wibi Pangestu Pratama
Struk belanja supermarket Super Indo di Karawang, Jawa Barat pada 31 Desember 2024 (kiri) dan 1 Januari 2025 (kanan). / Bisnis-Wibi Pangestu Pratama

Bisnis juga berbelanja di salah satu supermarket yang berada di dalam pusat perbelanjaan kota Depok, Jawa Barat. Bisnis membeli sejumlah kebutuhan seperti tisu, pasta gigi, dan sambal.

Tercatat bahwa pasta gigi dan kantong belanja mengalami kenaikan harga saat Bisnis berbelanja pada 2 Januari 2025, dibandingkan saat 28 Desember 2024. Namun demikian, tidak ada perbedaan tarif pajak dari kedua transaksi itu.

Dalam struk belanja tertera bahwa PPN yang dikenakan adalah 11%, baik saat berbelanja pada penghujung 2024 maupun awal tahun ini.

Struk belanja supermarket Farmers Market di Depok, Jawa Barat pada 28 Desember 2024 (kanan) dan 2 Januari 2025 (kiri). / Bisnis-Annasa Rizki Kamalina
Struk belanja supermarket Farmers Market di Depok, Jawa Barat pada 28 Desember 2024 (kanan) dan 2 Januari 2025 (kiri). / Bisnis-Annasa Rizki Kamalina

PPN Tetap 12%, Koefisien DPP yang Berbeda

Sesuai mandat Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), sejatinya tarif PPN yang berlaku mulai 1 Januari 2025 adalah 12%. Aturan yang baru diterbitkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yakni PMK 131/2024 sejatinya tidak mengubah ketentuan UU HPP, karena peraturan menteri tidak bisa mengubah atau membatalkan undang-undang.

Pemerintah pun 'mengakalinya' dengan menggunakan skema koefisien dalam perhitungan DPP, agar pada akhirnya masyarakat tetap membayar PPN setara 11% untuk barang-barang secara umum, dan PPN 12% berlaku khusus untuk barang-barang mewah.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menjelaskan bahwa pertimbangan menggunakan DPP sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang menyampaikan barang/jasa kena PPN 12% hanya yang tergolong mewah.

"Seperti apa untuk menetralisir 12% menjadi 11%? Caranya ya kita tetapakan semacam koefisien yang menjadi nilai lain, 11/12 x 12% sama dengan 11%. Ini kira-kira yang menjadi pertimbangan, dibandingkan dengan cara yang lain, ini paling mungkin kita jalankan," ujarnya dalam Media Briefing, Kamis (2/1/2025).

Dengan keterbatasan waktu dari pengumuman presiden terhadap implementasi ketentuan PPN, Suryo menyampaikan pihaknya harus menggunakan infrastruktur yang sudah ada dalam Undang-Undang (UU) PPN yakni mengatur melalui frasa 'menggunakan nilai lain'.

Untuk itu pihaknya memutuskan untuk tetap menggunakan tarif 12% yang dikalikan dengan 11/12 x harga jual, sehingga PPN yang dikenakan tetap 11%.

Sebagai contoh, penyerahan elektronik harga jual Rp100 juta. Maka perhitungan PPN = 12% x 11/12 x Rp100 juta alias Rp11 juta.

"Dalam pemahaman kami, UU memberikan ruang untuk itu [menggunakan nilai lain]. Satu sisi UU tetap jalan, tapi di sisi lain masyarakat tetap terjaga. Kenapa muncul? Karena pemerintah mendengarkan," tuturnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper