Bisnis.com, JAKARTA - Undang-undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) telah disahkan di awal bulan ini melalui rapat paripurna DPR RI, Selasa (7/12/2021).
Sejumlah aspek yang diatur dalam UU ini dinilai memiliki dampak baik positif maupun negatif terhadap ekonomi daerah.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai adanya UU HKPD diharapkan bisa melakukan reformasi fiskal daerah, yang belum bisa mandiri atau masih sangat bertumpu pada transfer dari pusat.
Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di 2020, tercatat 443 atau 88,07 persen dari total 503 pemerintah daerah (pemda) masuk dalam kategori indikator kemandirian fiskal (IKF) 'belum mandiri'. Selain itu, 468 pemda atau sebesar 93,04 persen pemda tidak mengalami perubahan kategori sejak 2013 hingga pandemi Covid-19 pada 2020.
Kendati pentingnya peran landasan hukum reformasi fiskal daerah, Analis Kebijakan KPPOD Eduardo Edwin Ramda menilai terdapat beberapa aspek dalam UU HKPD yang berpotensi untuk menimbulkan dampak positif sekaligus negatif.
Aspek tersebut, jelas Edwin, meliputi upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui skema opsen pajak, dan penguatan sistem insentif dalam transfer pusat ke daerah.
Baca Juga
"Ketika kita bicara dampak, ada dua perspektif mata pisau yang kita lihat dari sisi positif dan negatif," ujarnya pada webinar, Kamis (26/12/2021).
Pertama, skema opsen berpotensi meningkatkan PAD, namun pengaturan sejumlah tarif pajak dan retribusi daerah (PDRD) ini juga berpotensi untuk menimbulkan beban ekonomi terhadap dunia usaha dan slum society atau masyarakat yang bermukin di kawasan kumuh.
Skema opsen pajak ini bisa mewajibkan wajib pajak (WP) membayar setoran kepada dua pihak yaitu pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Oleh sebab itu, ada potensi peningkatan PAD dari skema bagi hasil administratif antara kedua level pemerintahan. Opsen pajak meliputi pajak-pajak tertentu seperti pajak kendaraan bermotor, bea balik kendaraan bermotor, dan pajak mineral bukan logam dan bantuan.
Kendati berpotensi meningkatkan penerimaan PDRD, opsen pajak yang diatur dalam UU HKPD dinilai multitafsir. Edwin mengatakan ada dua kemungkinan tafsir kebijakan opsen sesuai yang diatur dalam undang-undang, misalnya, tarif maksimal pajak kendaraan bermotor yang diatur sebesar 1,2 persen, dan akan dikenai opsen 0,66 persen.
Tafsir pertama, jelas Edwin, adalah beban wajib pajak yang akan dibayarkan nanti adalah 1,2 persen (tarif maks. pajak), ditambah 0,66 persen (opsen) atau 2/3 dari 1,2 persen tarif maksimal pajak.
"Ketika semua dijumlahkan, maka total beban wajib pajak menjadi 1,99 persen," kata Edwin.
Lalu, tafsir kedua yaitu dari 1,2 persen tarif maksimal PKB, 0,66 persennya (atau setara 0,79 persen dari perolehan pajak yang dibayarkan WP) dialihkan ke pemerintah kabupaten/kota. Sisanya, 0,33 persen dari tarif maksimal (atau setara dengan 0,41 persen perolehan pajak dari WP), kembali ke pemerintah provinsi sebagai pemegang kewenangan PKB.
"Ini akan menimbulkan pertanyaan, memangnya pemerintah provinsi mau mendapatkan hanya 0,41 persen [penerimaan pajak kendaraan bermotor], yang tadinya di UU PDRD mereka dapat sekitar 2 persen. Makanya, ini harus [diperjelas] dari sisi tafsir, definisi dari formulasi," jelasnya.
Kedua, skema transfer ke daerah (TKD) berbasis insentif dinilai bisa memacu kinerja daerah, namun di sisi lain skema dana bagi hasil (DBH) yang diatur dalam UU HKPD masih bersifat alamsentris.
Edwin menilai jika pendekatan alamsentris sangat kental dalam skema DBH, maka hal ini bisa mendorong daerah untuk bertindak lebih eksploratif tanpa berpikir untuk beralih ke sektor lain.
"Dengan tujuan mereka semakin mengeskplorasi sumber daya alam tanpa memerhatikan kualitas lingkungan dan sumber daya alamnya, mereka akan mendapatkan DBH yang besar. Ini bisa jadi cara yang salah, karena tidak melihat fakta bahwa hari ini telah terjadi shifting dari sektor primer, ke sektor sekunder dan tersier," ujarnya.
Di sisi lain, Edwin melihat bahwa UU HKPD belum memiliki kerangka pengawasan terhadap dana otonomi khusus (otsus) secara general, dana dana transfer dari pusat masih menjadi tulangg punggung keuangan daerah.
Maka itu, Edwin menyampaikan bahwa UU HKPD belum menawarkan perubahan yang signifikan dari pendahulunya yaitu UU 28/2009 dan UU 33/2004. Menurutnya, perubahan-perubahan dalam UU HKPD masih bersifat elementer, yaitu perubahan tarif dan nomenklatur, tanpa ada inovasi sistem yang baru untuk meningkatkan pendapatan daerah.
"Padahal sebenarnya ada opsi-opsi lain misalnya optimalisasi pajak pertambahan nilai terhadap pajak daerah. Banyak sebenarnya opsi-opsi lain yang belum ada di UU HKPD," jelasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai desain UU HKPD tidak hanya menyentuh alokasi fiskal tetapi juga memperkuat belanja daerah agar efisien, fokus, dan memiliki sinergi dengan belanja pemerintah pusat.
"Patut dipahami bersama bahwa kebijakan yang diusung dalam RUU HKPD ini merupakan ikhtiar bersama dalam peningkatan kualitas pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia," ujar Sri Mulyani.
Dia juga menyampaikan bahwa penyederhanaan jenis pajak dan retribusi daerah dalam RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) berpotensi mendorong kenaikan pendapatan asli daerah (PAD) hingga 50 persen.
Sri Mulyani menjelaskan, salah satu pilar dari RUU HKPD adalah untuk memperkuat reformasi perpajakan dan retribusi daerah melalui penyederhanaan jenis dari pajak dan retribusi daerah. Dalam RUU tersebut, jenis pajak daerah akan diturunkan dari 16 menjadi 14 jenis, sedangkan retribusi daerah dari yang sebelumnya 32 menjadi 18 jenis.