Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Fiskal Daerah Tak Kunjung Mandiri, KPPOD Harap UU HKPD Jadi Solusi

Mengutip situs resmi bpk.go.id, hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pemda masih sangat tergantung pada transfer daerah dari pemerintah pusat untuk membiayai belanja masing-masing pemda.
Ilustrasi APBD/kopel-online.or.id
Ilustrasi APBD/kopel-online.or.id

Bisnis.com, JAKARTA - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) melakukan refleksi pelaksanaan desentralisasi pada 2021, termasuk pada sisi fiskal. Kemandirian fiskal pemerintah daerah yang terlampau rendah turut mewarnai tahun kedua pandemi Covid-19.

Hal ini utamanya berangkat dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas kemandirian fiskal pemerintah daerah (pemda) 2020. Laporan tersebut diluncurkan pada Juni 2021 lalu. Dalam laporan itu, BPK mencatat 443 atau 88,07 persen dari total 503 pemda masuk dalam kategori "belum mandiri".

Mengutip situs resmi bpk.go.id, hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pemda masih sangat tergantung pada transfer daerah dari pemerintah pusat untuk membiayai belanja masing-masing pemda. Laporan tersebut bahkan menemukan 468 pemda atau sebesar 93,04 persen tidak mengalami perubahan katgeori kemandiri fiskalnya sejak 2013 hingga pandemi Covid-19 di 2020.

Regulasi hubungan fiskal pusat-daerah pun sudah silih berganti. Mulai dari 1956 hingga 2021 dengan undang-undang baru yang disahkan yaitu Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Kendati demikian, Analis Kebijakan KPPOD Eduardo Edwin Ramda menilai dampak positif yang timbul dari perubahan regulasi selama 65 tahun ini, perlu dipertanyakan.

"Nyatanya, ketika terjadi perubahan regulasi, tidak ada dampak yang signifikan terhadap kemandirian fiskal daerah. Hingga 2019 kemarin, hanya ada satu daerah yang memiliki status kemandirian fiskal tinggi, yaitu Kabupaten Badung. Bahkan, ketika 2020 terjadi pandemi, tidak ada daerah yang mencapai status kemandirian fiskal 'sangat mandiri'," jelasnya pada webinar, Kamis (23/12/2021).

Edwin menilai jangan sampai enam kali perubahan regulasi tidak menghasilkan apa-apa, dan justru menciptakan sudut pandang bahwa daerah semakin tergantung pada transfer APBN. Pemerintah daerah perlu mulai mendorong peningkatan pemanfaatan pendapatan asli daerah (PAD).

Oleh sebab itu, UU HKPD yang baru saja disahkan itu diharapkan bisa melakukan reformasi fiskal daerah. Edwin menilai terdapat sejumlah fungsi substansi pada undang-undang tersebut, contohnya simplifikasi sejumlah pajak dan retribusi daerah (PDRD) yang awalnya terpisah namun kini akan disatukan. UU HKPD juga turut mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pajak alat berat.

Lalu, terdapat sejumlah upaya untuk meningkatkan PAD pada undang-undang HKPD. Yaitu, skema opsen pajak yang bisa mewajibkan wajib pajak (WP) membayar setoran kepada dua pihak yaitu pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Akan tetapi, menurutnya skema opsen layaknya dua mata pisau. Dampak positif yang bisa diciptakan skema itu adalah potensi peningkatan PAD karena adanya skema bagi hasil administratif antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Misalnya, pajak kendaraan bermotor, bea balik kendaraan bermotor, dan pajak mineral bukan logam dan bantuan.

Sebaliknya, sisi negatif muncul dari pengaturan sejumlah tarif pajak baru yang ada dalam PDRD, terutama berupa beban ekonomi bagi pengusaha sebagai bagian dari ekosistem investasi. Hal yang sama juga bisa membebani masyarakat di kawasan kumuh atau slum society.

"Kemudian tafsir opsen itu belum sepenuhnya jelas. Konstruksi hermeneutikanya [penafsiran] dijelaskan bahwa opsen adalah pungutan tambahan. Tapi, tidak dijelaskan formulasi dair pungutan tambahan itu baik dalam UU atau simulasi terbuka," tambahnya.

Terkait dengan TKDD, Edwin menilai UU HKPD mengusung empat poin besar dalam mendorong reformasi fiskal daerah. Pertama, adaptif dengan upaya akomodasi bentuk-bentuk Dana Bagi Hasil (DBH) sumber daya alam (SDA) lainnya mislanya sawit.

Kedua, instrumen penguatan insentif dengan penyesuaian besaran transfer dari pusat menurut kinerja pemerintah daerah.

Ketiga, penghematan belanja pegawai guna dialihkan ke kebutuhan yang lebih produktif. Keempat, pengalihan ke belanja infrastruktur untuk pemanfaatan belanja lebih produktif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dany Saputra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper