Bisnis.com, JAKARTA — Rencana revisi Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No. 31/2018 tentang kemasan pangan olahan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha beralih dari galon guna ulang (GGU) ke produk sekali pakai.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo menjelaskan dengan sekitar 880 juta GGU yang beredar di pasaran saat ini, investasinya diperkirakan sebesar Rp30,8 triliun. Jika beralih ke galon sekali pakai, nilai investasi tersebut akan membengkak menjadi Rp51 triliun.
"Kalau menggunakan galon sekali pakai, [investasinya] sekitar Rp51 triliun setiap tahun, dan dampaknya yang akan cukup besar terhadap lingkungan," kata Edy dalam webinar, Kamis (2/12/2021).
Revisi beleid itu disebutkan bakal mewajibkan GGU yang berbahan polikarbonat (PC) untuk mencantumkan label mengandung Bisfenol A (BPA). Label BPA free atau bebas BPA, dapat dicantumkan pada produk air minum dalam kemasan (AMDK) selain berbahan polikarbonat. Adapun, botol sekali pakai berbahan polietilena (PET) dan tidak mengandung BPA.
Migrasi BPA ke tubuh manusia melalui bahan pangan ditengarai berdampak buruk pada kesehatan, meski sejumlah penelitian menunjukkan efeknya terbatas pada suhu tinggi. Di sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan anggota Uni Eropa, larangan kandungan BPA pada kemasan pangan diterapkan untuk produk bayi dan food contact material.
Edy menjelaskan, AMDK yang dikemas dalam galon mendominasi profil industri minuman. Secara pangsa pasar, 84 persen industri minuman dikuasai AMDK. Adapun, sisanya 12,4 persen dikontribusikan oleh minuman ringan lain, dan 3,6 persen dari minuman berkarbonasi. Dari total pangsa pasar AMDK, 69 persen dikemas dalam galon guna ulang.
"Di mana saat ini pelaku usahanya ada 900 unit, yang menyerap 40.000 tenaga kerja dan produksinya pada 2020 kurang lebih 29 miliar liter. Jadi perlu kita pikirkan kalau akan mengganti ke galon sekali pakai," ujarnya.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) Rachmat Hidayat mengatakan peralihan menuju galon sekali pakai akan membutuhkan 770.000 ton bahan baku plastik dalam satu tahun. Di sisi lain, Indonesia masih mengimpor minyak bumi sebagai bahan baku di industri hulu plastik.
Rachmat pun menambahkan pihaknya akan bersurat dengan kementerian dan lembaga terkait mengenai keberatan akan pengaturan dalam revisi beleid tersebut.
"Itu sangat berbahaya untuk kelangsungan industri, akan memicu iklim usaha yang tidak kondusif," ujar Rachmat.