Bisnis.com, JAKARTA — Industri hilir plastik dalam negeri meminta pemerintah untuk memastikan implementasi pajak karbon tahun depan tidak merugikan pelaku usaha di tengah momentum pemulihan ekonomi nasional.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiono berpendapat rencana implementasi kebijakan pajak karbon itu berpotensi menurunkan daya saing produk dalam negeri akibat naiknya harga jual produk.
Alasannya, Indonesia menjadi negara pertama di kawasan Asean yang bakal menerapkan pungutan atas gas buang tersebut.
“Jangan sampai kenaikan bahan baku itu justru menjadi bumerang bagi kita karena pajak karbon baru Indonesia yang melakukan di kawasan Asean,” kata Fajar melalui sambungan telepon, Rabu (17/11/2021).
Fajar khawatir implementasi pajak karbon memberi peluang lebar bagi masuknya barang-barang impor dengan harga yang relatif terjangkau di pasar dalam negeri. Apalagi, barang impor jadi relatif mudah untuk masuk ke dalam pasar domestik ketimbang bahan baku.
“Penerapan pajak karbonnya harus sejajar kalau tidak kita bisa kalah bersaing dengan barang-barang impor,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, PT PLN (Persero) memastikan pengenaan pajak karbon terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) akan berdampak pada kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.
Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril mengatakan bahwa pengenaan pajak yang ditetapkan pemerintah akan berkorelasi dengan subsidi dan kompensasi yang harus dibayarkan.
Meski begitu, dia memastikan bahwa PLN sebagai BUMN akan mendukung seluruh kebijakan pemerintah, termasuk terkait pengenaan pajak karbon mulai 2022.
“Pengenaan pajak karbon akan menaikkan BPP, dan tentu saja dengan skema tarif saat ini akan berkorelasi dengan subsidi dan kompensasi,” katanya, Rabu (13/10/2021).
Ketentuan tersebut ditetapkan setelah DPR mengesahkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi UU. Pengenaan pajak karbon itu akan berlaku mulai 1 April 2021.
“Yang pertama kali dikenakan [pajak karbon] terhadap badan yang bergerak di bidang PLTU batu bara dengan tarif Rp30 per kilogram CO2e atau satuan yang setara,” bunyi pasal 17 ayat 3 UU HPP.