Bisnis.com, JAKARTA — Nikel dalam negeri berpotensi menjadi salah satu komoditas masa depan di tengah upaya dunia menekan emisi karbon dari bahan bakar fosil. Namun beberapa kondisi harus diperbaiki untuk menopang industri ini.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan bahwa permintaan nikel dunia akan meningkat seiring dengan mulai gencarnya pengembangan kendaraan listrik.
Pada saat yang sama, Indonesia melarang ekspor bijih nikel sehingga turut meningkatkan harga komoditas itu di pasar dunia. Hal ini juga turut ditopang dengan kondisi Indonesia sebagai pemasok terbesar dunia untuk nikel.
“Harga nikelnya akan terus tinggi menurut saya. Selama indonesia masih menerbitkan kebijakan seperti itu dan demand juga makin tinggi,” katanya kepada Bisnis, Kamis (11/11/2021).
Nikel kata dia akan semakin prospektif lanjutnya seiring dengan perkembangan industri kendaraan listrik. Saat ini sejumlah negara mulai mengembangkan kendaraan berbahan bakar listrik. Beberapa di antaranya China dan Eropa.
Uni Eropa bahkan menggugat Indonesia ke world trade organization (WTO) setelah pemerintah memutuskan untuk menyetop ekspor bijih nikel. Pasalnya pemerintah membidik ekspor produk bernilai tambah tinggi.
Baca Juga
Akan tetapi masalahnya adalah pengolahan nikel di dalam negeri masih terbatas, seperti produk nikel pig iron dan feronikel langsung diekspor ke China. Negara itu kemudian mengolah menjadi produk jadi seperti baterai.
“Ini kan yang kita harus berhati-hati. Jangan seolah dengan ada smelter sudah hilirisasi, padahal belum. Karena masih awal sekali. Jadi harus didorong lebih hilir lagi sampai dalam bentuk baterai,” terangnya,
Dia juga mengingatkan harga jual nikel terhadap smelter masih rendah. Kondisi ini dilematis bagi penambang, di satu sisi tidak dapat diekspor. Namun di sisi lain terpaksa menjual ke smelter dengan harga rendah.
Kata Faisal, selama ini harga jual nikel dikontrol langsung oleh pengusaha besar. Alhasil harga jual komoditas ini hanya sepertiga dari harga internasional. Meski hal ini dapat mendatangkan investor lebih banyak, namun rendahnya harga juga akan berdampak pada penerimaan negara.
“Otomatis kalau memang harganya dibeli murah, royalti yang dibayar ke pemerintah jadi sedikit. Belum pajak yang jadi lebih sedikit. Apalagi begitu sampai ke smelter diolahnya cuma sampai nikel pig iron dan feronikel yang belum terlalu banyak pengolahannya,” terangnya.