Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) mengakui membeli nikel tidak sesuai regulasi.
Ketua AP3I Prihadi Santoso mengatakan bahwa Peraturan Menteri ESDM No 11/2020 baru berlaku selama satu tahun. Regulasi ini mengatur tentang tata cara penetapan harga patokan penjualan mineral logam dan batubara.
“Regulasi itu baru terlaksana satu tahun tapi belum bisa terlaksana, bukan belum sempurna, mandek kok,” katanya kepada Bisnis, Kamis (11/11/2021).
Lebih lanjut, AP3I mendorong industri pengolahan untuk mengikuti peraturan yang ada. Selain itu, pemerintah juga diminta memberikan prioritas agar perusahaan smelter mau menerapkan kebijakan ini. Hal ini akibat regulasi sudah diterbitkan, tetapi belum berjalan maksimal.
Permasalahan harga ini menurutnya harus menjadi perhatian eksekutif. Pemerintah sudah mendeklarasikan diri menjadi pemain kendaraan listrik masa depan. Hal ini dimulai dengan peresmian pabrik baterai mobil listrik pertama di Karawang, Jawa Barat.
Dia menyebut saat ini terdapat 308 penambang nikel tingkat menengah dan kecil. Penambang ini sangat erat dengan pengusaha lokal. Sebab itu, penurunan harga jual nikel berdampak langsung bagi kalangan menekah kecil ini.
Baca Juga
Harga mineral acuan nikel pada November untuk kadar 1,7 persen untuk free on board (FoB) dihargai US$40,59 per wet metrik ton. Kemudian kadar 1,8 persen mencapai US$45,37 per wet metrik ton.
Kemudian kadar 1,9 persen dihargai US$50,41 per wet metrik ton dan kadar 2 persen untuk FoB ditetapkan seharga US$55,72 per wet metrik ton.
Di lapangan, harga nikel ditentukan dengan skema CIF atau cost in insurance and freight. Sementara dalam aturan pemerintah menetapkan harga berdasarkan free on board (FoB).
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang Tbk., di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018). /JIBI-Nurul Hidayat
Harga FoB merupakan nilai beli di atas kapal tongkang. Artinya biaya asuransi dan angkutan ditanggung pembeli. Sementara itu, CIF membebankan biaya angkutan dan asuransi kepada penjual.
Menurut Prihadi, penentuan CIF maupun FoB biasanya dilakukan oleh smelter besar. Padahal skema ini belum diregulasi oleh pemerintah. Asosiasi juga menduga jasa surveyor bekerja kurang profesional dalam menentukan kadar nikel sehingga menguntungkan smelter.
“Peraturan Permen 2020 belum bisa dilaksanakan secara penuh. Menurut saya pemerintah harus berbuat lebih, cenderung kepada bagaimana menatakan sumber daya mineral ini menjadi motor penggerak ekonomi,” tuturnya.
Selain itu dia meminta pemerintah untuk berkoordinasi dengan DPR dalam menetapkan peraturan menteri. Prihadi turut mendorong agar eksekutif mau membentuk dewan geologi nasional untuk mengontrol sumber daya perut bumi baik dari sisi produksi maupun cadangannya.
Terpisah, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengeluhkan transaksi penjualan bijih nikel ke smelter masih belum mengikuti harga patokan mineral (HPM) yang ditetapkan meski telah diregulasi.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan bahwa tata kelola nikel domestik harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Pasalnya hal ini berkaitan dengan perdagangan nikel hingga pendapatan negara.
Mengacu pada Permen ESDM No 11/2020 pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi mineral dan IUPK operasi produksi mineral logam yang memproduksi bijih nikel, wajib mengacu pada harga patokan mineral logam dalam melakukan penjualan bijin nikel.
APNI menyinggung pihak smelter belum membeli nikel ore dari pemegang izin usaha pertambangan sesuai dengan reulasi yang ditetapkan berdasarkan free on board (FoB). Perusahaan smelter malah membeli dengan sitem cost in insurance and freight (CIF).
“Dalam pelaksanaanya, para penambang banyak menanggung ongkos kirim. Artinya dengan invoice yang diajukan menjadi tidak sesuai peraturan,” katanya kepada Bisnis, Kamis (11/11/2021).