Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ada Tanda-tanda Stagflasi di China, Ekonom Yakinkan Inflasi RI Masih Terjaga

Dilansir dari artikel kolaborasi antara Quartz dan World Economic Forum, Kepala Strategi Global Foreign Exchange G10 (G10 FX) Bank of America Athanasios Vamvakidis mengatakan bahwa kondisi stagnasi ini berakar di seluruh dunia.
Pedagang menata sayuran yang dijual di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (27/1/2020)./ ANTARA - Sigid Kurniawan
Pedagang menata sayuran yang dijual di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (27/1/2020)./ ANTARA - Sigid Kurniawan

Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah negara di dunia tengah mengalami kenaikan harga energi dan gangguan rantai pasok. Kondisi itu telah memicu percakapan tentang stagflasi, suatu periode ketika pertumbuhan ekonomi melambat dan pengangguran terjadi bersamaan dengan meningkatnya tingkat inflasi.

Stagflasi terlihat semakin ramai diperbincangkan, ketika pencarian kata tersebut di Google mengalami peningkatan tajam di tengah krisis energi global.

Dilansir dari artikel kolaborasi antara Quartz dan World Economic Forum, Kepala Strategi Global Foreign Exchange G10 (G10 FX) Bank of America Athanasios Vamvakidis mengatakan bahwa kondisi stagnasi ini berakar di seluruh dunia.

"Kenaikan harga energi merupakan peringatan bagi pasar, dan skenario yang kemungkinan besar terjadi yaitu kita mendapatkan inflasi yang lebih tinggi dan output yang lebih lemah," kata Vamvakidis seperti yang dikutip oleh Bisnis, Sabtu (6/11/2021).

Menurut Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman, tingginya tingkat inflasi di tengah krisis energi dan rantai pasok akan memicu kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral, lebih cepat dari prakiraan awal. Setelah itu, yield pada pasar obligasi dunia akan naik sehingga bisa memicu capital outflow dari pasar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Akan tetapi, Faisal menilai Indonesia saat ini masih bisa menghela nafas, karena inflasi masih terjaga hingga saat ini.

"Kabar baiknya sampai saat ini inflasi Indonesia masih terjaga sehingga secara real rate [nominal interest rate-inflation rate] produk keuangan kita masih cukup relatively attractive," jelas Faisal kepada Bisnis, Selasa (9/11/2021).

Kemungkinan untuk terjadinya stagflasi di Indonesia juga dinilai cukup rendah. Inflasi saat ini masih tercatat di bawah target inflasi Bank Indonesia (BI) yaitu berada di bawah titik tengah kisaran sasaran sebesar 3 persen plus minus 1 persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir mencatat inflasi Oktober 2021 sebesar 0,12 persen secara bulanan (month-on-month/mom), dan 1,66 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).

Di sisi lain, pemulihan ekonomi Indonesia dinilai akan berjalan secara bertahap. Oleh sebab Faisal mengatakan inflasi memang akan naik ke depannya namun tidak akan sampai mengalami stagflasi.

"Selain itu, akibat tapering kemungkinan harga emas dan komoditas akan turun ke depannya. Jadi tekanannya di 2022 saya melihat masih dapat cenderung terkendali," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dany Saputra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper