Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) memandang pemerintah perlu memperhatikan implementasi pajak karbon yang rencananya diterapkan pada tahun depan agar tak menghambat aliran investasi.
Sekjen Inaplas Fajar Budiono mengatakan pengenaan pajak karbon harus diikuti dengan pengawasan impor. Apabila barang impor tak mendapatkan beban yang sama dengan yang dikenakan pada produsen domestik, maka akan mengurangi daya saing dan berimbas pada turunnya daya tarik investasi.
"[Barang] Di dalam negeri dikenakan pajak karbon, sementara yang impor belum atau terlambat atau tidak bisa 100 persen. Ini akan menjadi hambatan terhadap investasi," katanya saat dihubungi, Kamis (28/10/2021).
Menurut Fajar, pengenaan pajak karbon juga perlu mempertimbangkan momentum yang tepat mengingat saat ini di antara negara Asean, baru Indonesia yang menerapkan instrumen tersebut. Apabila barang-barang impor dari Asean tak terjaring pajak karbon, maka produk dalam negeri akan kalah saing.
Sementara itu, investasi di industri petrokimia menurutnya masih menjanjikan, didorong menggeliatnya sektor makanan dan minuman serta kebutuhan barang proteksi di masa pandemi. Selain itu, investasi di hilir telah banyak melakukan transformasi teknologi, sehingga produksi bisa lebih efisien.
"Kami optimistis karena [industri] mamin sudah di atas 6 persen pertumbuhannya, kemudian [pembangunan] infrastruktur mulai berjalan, dan pasca pandemi ada kebutuhan masker dan barang-barang sanitary," ujarnya.
Fajar juga mengatakan yang saat ini kendala utama bagi investasi adalah sistem online single submission yang mengalami penundaan sampai ke daerah. Sudah sekitar dua bulan belakangan, proses perizinan macet.
"Kami mau izin pembangkit saja, sampai hari ini bingung kemana," ujar Fajar.