Bisnis.com, JAKARTA - Bank indonesia (BI) angkat suara terkait dengan fenomena Inflasi tinggi yang terjadi di dunia.
Gubernur Perry Warjiyo menyebut penyebab inflasi berbeda-beda, ada yang disebabkan oleh pemulihan ekonomi yang pesat, dan faktor-faktor khusus seperti gangguan rantai pasok global.
Kenaikan inflasi yang tinggi pada negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat, kata Perry, tidak lepas dari sejumlah faktor seperti memiliki stimulus fiskal dan moneter yang besar serta capaian vaksinasi yang luas.
Menurut Perry, inflasi yang tinggi dipicu juga oleh basis pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang sangat rendah di mana resesi terjadi. Untuk inflasi tahun ini di negara-negara tersebut, dia mengatakan inflasi bisa bersifat sementara atau transitory.
"Meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi dan kenaikan inflasi melebihi perkiraan yang The Fed sasarkan, tapi mereka melihat di [tahun ini] masih bersifat transitory. Tapi untuk 2022, The Fed melihat itu permanen," jelas Perry pada konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Selasa (19/10/2021).
Oleh karena itu, Perry memperkirakan The Fed akan mengumumkan rencana tapering off pada sekitar akhir tahun ini.
Baca Juga
Di sisi lain, ada negara-negara yang mengalami inflasi tinggi karena faktor khusus, misalnya seperti gangguan pada rantai pasok global dan penyesuaian harga yang diatur pemerintah. Hal ini menyebabkan inflasi.
Perry menyimpulkan bahwa tidak hanya penyebab inflasi, namun respon bank sentral setiap negara juga berbeda-beda untuk merespon kenaikan inflasi. Seperti halnya di Indonesia.
Namun, di Indonesia, Perry mengatakan respons kebijakan tidak akan hanya bertumpu pada bauran kebijakan moneter seperti nilai tukar, suku bunga, dan likuiditas.
Ke depan, Perry menegaskan bahwa suku bunga akan tetap rendah hingga akhir 2022. Perry membuka kemungkinan untuk membahas kenaikan suku bunga pada akhir tahun depan.
Di sisi likuiditas, Perry menyebut likuiditas akan terus longgar untuk mendukung perbankan dalam menyalurkan kredit, dan pemerintah dalam pembelian SBN. Pada 2022, BI akan mulai sedikit demi sedikit untuk mengurangi penambahan likuiditas.
"Tahun depan, dikurangi sedikit-sedikit, tapi tetap longgar," ujar Perry.