Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kereta Cepat China Bermasalah Keuangan, Instran: Indonesia Mesti Hati-hati dengan KCJB

Institut Studi Transportasi (Instran) menyoroti adanya sejumlah persoalan keuangan yang mesti ditanggung oleh pemerintah China saat Kereta Cepat beroperasi.
Pekerja melintas di dekat Tunnel Walini saat pengerjaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (14/5/2019)./ANTARA-M Agung Rajasa
Pekerja melintas di dekat Tunnel Walini saat pengerjaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (14/5/2019)./ANTARA-M Agung Rajasa

Bisnis.com, JAKARTA – Institut Studi Transportasi (Instran) menyoroti adanya sejumlah persoalan keuangan yang mesti ditanggung oleh pemerintah China saat kereta cepat beroperasi.

Persoalan yang sama dengan yang dialami China berpotensi terulang kembali di Indonesia dan menyandera proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB).

Direktur Eksekutif Instran Deddy Herlambang menyampaikan bahwa tingkat permintaan kereta cepat di China ternyata tak cukup tinggi. Pemerintah China juga masih mengucurkan bantuan keuangan bagi jalur yang tingkat permintaannya rendah.

“Kereta Cepat di China juga bermasalah keuangannya. Kita bisa kena dampaknya. Logikanya, sindikasi keuangan China apa percaya dengan KCJB karena di dalam negeri sendiri bermasalah kekurangan dana,” ujarnya, Jumat (15/10/2021).

Deddy memaparkan, fakta tersebut berasal dari pemberitaan https://www.orfonline.org/expert-speak/chinas-high-speed-railways-plunge-from-high-profits-into-a-debt-trap/.

Pemberitaan tersebut menjelaskan bahwa sebagian besar jalur kereta cepat baru di China telah mengalami penurunan tingkat kepadatan secara tajam yang diukur dalam kilometer per penumpang.

Indikator tersebut memproyeksikan efisiensi operasi jalur dalam hal volume transportasi rata-rata tahunan per kilometer.

Sebagai perbandingan, apabila kepadatan transportasi koridor Beijing–Shanghai sepanjang 1.318 kilometer adalah 48 juta kilometer penumpang pada 2015 dan terus menanjak.

Berbeda halnya dengan jalur Lanzhou–Urumqi sepanjang 1.776 kilometer yang hanya memiliki kepadatan transportasi 2,3 juta kilometer penumpang. Kepadatan transportasi keseluruhan Kereta Cepat China adalah 17 juta kilometer penumpang pada 2015.

Jumlah itu jauh berbeda dengan Shinkansen Jepang  yang kepadatan transportasinya mencapai 34 juta kilometer penumpang di tahun yang sama.

Dari sisi finansial, biaya konstruksi kereta cepat hampir tiga kali lipat dari jalur kereta api konvensional, mengingat tidak adanya tarif angkutan, dan kelangsungan operasionalnya hanya bergantung pada tarif penumpang untuk menutupi belanja modal dan biaya operasional.

Menurutnya, China juga terjerat dalam perangkap utang kereta cepat karena dalam beberapa tahun terakhir, pinjaman besar-besaran telah digelontorkan oleh pemerintah provinsi untuk memonetisasi jalur kereta cepatnya.

Hal itu telah menciptakan jebakan utang, yang kini membebani kas milik negara. Kesengsaraan keuangan China Railway Corporation dimulai hampir empat tahun lalu ketika lebih dari 60 persen operator HSR masing-masing kehilangan minimal US$100 juta pada 2018.

Tahun itu, operator yang paling tidak menguntungkan di Chengdu melaporkan kerugian bersih US$1,8 miliar. Pada tahun yang sama, ekonom transportasi di Cina telah memperkirakan krisis utang yang akan datang untuk kereta cepat negara yang bergantung kepada subsidi pemerintah.

Operator terjebak dalam lingkaran setan dengan siklus menaikkan utang baru untuk melunasi utang lama. Akibatnya, sejak 2015 pembayaran bunga CRC secara signifikan lebih tinggi daripada laba operasinya, sehingga labanya menyusut.

Empat tahun kemudian, pada Maret 2021, Dewan Negara China sebagai organ tertinggi kekuasaan negara, telah membatasi investasi di kereta cepat untuk mencegah tergelincirnya ke dalam perangkap utang yang semakin dalam.

Tanpa menyebutkan angka atau bahkan kisaran tertentu, Dewan Negara telah meminta semua pemerintah untuk memastikan bahwa utang kereta api mereka harus berada dalam kisaran rasional di 2035.

Pada September 2020, jumlah utang CRC naik menjadi US$850 miliar, atau dengan kata lain melambungkan rasio utang terhadap aset menjadi 65,8 persen.

Pemerintah Beijing juga telah menghentikan dua proyek senilai lebih dari RMB130 miliar (US$20 miliar) di provinsi Shandong dan Shaanxi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Lili Sunardi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper