Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indonesia Perlu Negosiasi Ulang Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Indonesia saat ini adalah pemegang saham mayoritas proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung. Dengan demikian negara ini memiliki hak lebih besar untuk menentukan arah pembangunan.
Foto udara proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di salah satu tunnel atau terowongan di kawasan Tol Purbaleunyi KM 125, Cibeber, Cimahi Selatan, Jawa Barat, Kamis (2/4/2020). /Bisnis-Rachman
Foto udara proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di salah satu tunnel atau terowongan di kawasan Tol Purbaleunyi KM 125, Cibeber, Cimahi Selatan, Jawa Barat, Kamis (2/4/2020). /Bisnis-Rachman

Bisnis.com, JAKARTA – Institut Studi Transportasi (Instran) menilai perlunya negosiasi ulang antara konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia dengan Konsorsium China akibat ketidakjelasan pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang saat ini juga sedang diaudit.

Direktur Eksekutif Instran Deddy Herlambang mengatakan sebagai pemilik saham mayoritas atau sebesar 60 persen di tubuh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), Indonesia semestinya bisa lebih menentukan arah proyek tersebut. Terlebih dengan adanya Perpres No.93/2021 yang mengizinkan masuknya penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam proyek tersebut.

Dia mengkhawatirkan defisit permodalan tersebut atau di proyek KCJB tersebut berlangsung terlalu lama. Apabila berlangsung terlalu lama, tentunya aliran APBN tiada henti akan masuk di KCJB.

“Sebaiknya negosiasi ulang dengan konsorsium China karena tidak jelas bisnisnya dengan kita. KCIC kita [Indonesia] kuasai 60 persen saham sementara China 40 persen. Mengapa kita yang punya mayoritas malah patuh dengan China yang minim saham,” ujarnya, Jumat (15/10/2021).

Selain itu, sebagai pemilik mayoritas saham Indonesia juga memiliki kesempatan untuk membeli sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Termasuk membeli rel dari dalam negeri atau sinyal telekomunikasi dan kelistrikan dari negara yang lebih canggih lainnya.

“Kita masih pusing untuk permodalan, tentunya cari produsen KA cepat yang lebih mudah dan murah pengadaannya,” imbuhnya.

Belum lagi, lanjutnya, persoalan Sumber Daya Manusia (SDM). Dia menilai PT Kereta Api Indonesia (persero) atau KAI masih belum memiliki pelatihan SDM KA cepat. Padahal untuk melatih SDM KA cepat tidak mudah.

“Artinya kita tidak bisa pakai SDM Asing terus walau di awal paling tidak SDM kita sudah ada yang bisa operasikan KA Cepat,” katanya.

Deddy mengaku sejak awal tidak setuju Kereta Cepat Jakarta-Bandung ini dibangun. Alasannya, selain biaya infrastrukturnya yang mahal, menurutnya untuk trase yang hanya 142 km tidak memerlukan kereta cepat. Lebih baik KA yang telah ada saat ini diperbarui sehingga waktu tempuh bisa dipangkas menjadi 2 jam dari sebelumnya lebih dari 3 jam.

KA cepat ini memang 36 menit tapi tidak sampai Kota Bandung, sehingga masih memerlukan moda angkutan lain apabila ingin sampai ke Kota Bandung.

Meski menyayangkan pendanaannya yang bersumber dari APBN, dia menilai Kereta Cepat Jakarta–Bandung ini harus diselesaikan karena sudah 70 persen jadi. Namun begitu, diharapkan pemerintah dapat mencari alternatif pendana baru.

"Kalau proyek politis seharusnya mudah cari pendana untuk menjadi anggota konsorsium baru atau mengganti anggota konsorsium yang tidak punya dana cash," imbuhnya.

Lebih lanjut Deddy menuturkan, tarif yang dibandrol kereta cepat sejak 2016 adalah Rp200.000 bila tidak berubah nantinya, sedangkan tarif KA Parahyangan Rp75.000-Rp120.000. Dengan demikian dapat dipetakan bahwa Kereta Cepat ini menyasar segmentasi sosial menengah ke atas dan KA Parahyangan untuk sosial menengah ke bawah.

Sementara itu, sambungnya, dari sisi kebutuhan transportasi pun saat ini sampai 10 tahun mendatang belum mendesak untuk pilihan kereta cepat Jakarta-Bandung, karena masih ada jalan tol bahkan tol layang, jalan raya reguler dan KA Parahyangan.

Menurutnya, pemerintah terlalu tergesa-gesa meniru penerapan kereta cepat di China pada jalur Beijing-Shanghai dan Beijing-Guangzhou. Pasalnya, sebagian besar konstruksi provinsi tersebut mengabaikan potensi kapasitas menganggur dengan pembangunan yang menelan biaya tinggi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper