Bisnis.com, JAKARTA – Biaya pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dilaporkan membengkak hingga Rp27,74 triliun dari estimasi awal sebesar US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,5 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS) menjadi US$8 miliar atau setara Rp114,24 triliun.
Namun bila ditelisik ke belakang, jumlah ini ternyata menjadi lebih mahal dari tawaran Jepang. Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung sebenarnya pertama kali diajukan Jepang dengan nilai investasi mencapai US$6,2 miliar, dimana 75 persennya dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1 persen per tahun.
Negeri Sakura itu menawarkan proposal pembangunan ke pemerintah Presiden Joko Widodo melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Saking seriusnya dengan penawaran tersebut, JICA telah menggelontorkan modal sebesar US$3,5 juta sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan.
Sayangnya, di tengah proses lobi Jepang, tiba-tiba saja China muncul dan melakukan studi kelayakan untuk proyek yang sama. Hal itu juga mendapat sambutan baik dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kala itu, Rini Soemarno.
Pemerintah Indonesia akhirnya memilih China untuk membangun proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Alasan utamanya adalah karena pihak Jepang tidak mau jika tanpa jaminan dari pemerintah, sementara China siap menggarap dengan skema business to business (B to B) tanpa perlu jaminan dari pemerintah.
Akhirnya, proyek ini menjadi unsolicited karena tanpa keterlibatan pemerintah dalam hal pendanaan karena murni bisnis (B to B). Rini kemudian menandatangani nota kesepahaman kerja sama dengan Menteri Komisi Pembangunan Nasional dan Reformasi China Xu Shaoshi pada Maret 2016.
Baca Juga
China menawarkan nilai investasi yang lebih murah, yakni sebesar US$5,5 miliar dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium BUMN.
Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahun.
Hebatnya lagi, China menjamin pembangunan ini tak menguras dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Penegasan semua biaya Kereta Cepat Jakarta Bandung tanpa uang APBN itu juga kemudian disahkan pemerintah Jokowi lewat penerbitan Perpres No. 107/2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Sayangnya, kini yang terjadi adalah biaya pembangunan Kereta Cepat itu bengkak dari penghitungan awal. Target penyelesaiannya pun molor dari yang direncanakan rampung pada 2019.
Polemik pun terus bergulir setelah pemerintah Jokowi akhirnya meralat janjinya demi kelangsungan mega proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tersebut. Jokowi membuka opsi agar APBN bisa ikut mendanai proyek itu dengan menandatangani Perpres No. 93/2021.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung akan menjadi beban bagi pemerintah. Pasalnya, jumlah utang negara akan meningkat secara langsung maupun tidak langsung.
Menurutnya, meski konsorsium yang menerbitkan utang dengan jaminan pemerintah sekalipun, akan terdapat risiko kontijensi yaitu risiko yang muncul ketika BUMN mengalami tekanan dan berakibat pada neraca anggaran pemerintah.
"Ini yang disebut sebagai debt trap atau jebakan utang. Awal masalah karena proyek yang disetujui secara feasibility study atau studi kelayakan bermasalah, biaya proyek membengkak, kemudian ujungnya pemerintah harus turun tangan," katanya kepada Bisnis, dikutip Jumat (15/10/2021).
Bhima menilai pada akhirnya pemerintah akan kesulitan melanjutkan proyek tersebut. Mega proyek ini akan menyita pajak masyarakat dan menambah utang baru.
Bukan itu saja, dia menyebut beban utang yang meningkat tentu akan membahayakan APBN dalam jangka panjang. Terlebih, pada 2022 target defisit anggaran masih berada pada level 4,85 persen dari PDB.
"Pemerintah juga harus menanggung pembayaran bunga utang Rp405 triliun. Apakah proyek kereta cepat ini sudah diperhitungkan dalam APBN 2022?" tutur Bhima.
Namun begitu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga berdalih bahwa pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah hal wajar.
Menurutnya, pandemi Covid-19 menjadi biang kerok terhambatnya proyek tersebut yang pada akhirnya berdampak pada bengkaknya biaya Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
“Jadi hanya kemarin masalah Corona ini membuat semuanya jadi terhambat, jadi jangan diplintir ini ada hal-hal lain dan sebagainya gitu ya. Dan pembengkakan-pembengkakan itu adalah hal yang wajar, namanya juga pembangunan awal dan memang itu membuat beberapa hal agak terhambat,” tutur Arya Sinulingga.
Bukan itu saja, dia mengeklaim pelaksanaan dan progres pembangunan proyek ini sebenarnya sudah bagus dengan capaian proyek hampir 80 persen.
"Dengan capaian itu, pemerintah ingin pembangunan ini terus berlanjut dan jangan sampai tertunda. Karena itu, pemerintah memutuskan adanya pembiayaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung pakai APBN," tegasnya.