Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mendorong upaya pengurangan risiko bencana dan sosial ekonomi sekaligus menguatkan ketahanan terhadap risiko perubahan iklim (climate change).
Salah satu upaya dilakukan melaui Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) yang diimplementasikan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No.18/2020, yang menjadi salah satu Prioritas Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Terkait dengan kerugian ekonomi, Bappenas memperkirakan total kerugian yang bisa dialami oleh sektor-sektor prioritas ketahanan iklim pada RPJMN 2020-2024 mencapai Rp544 triliun dan akan meningkat hingga 2024 mendatang.
"Berdasarkan kajian Bappenas pada 2019, total kerugian ekonomi untuk empat sektor prioritas ketahanan iklim dalam RPJMN 2020-2024 diperkirakan sebesar Rp544 triliun, dengan peningkatan 12,8 persen dari 2020 ke 2024," demikian ditulis Bappenas dalam siaran pers, Rabu (13/10/2021).
Sebagai langkah mitigasi, Kementerian PPN/Bappenas mengembangkan platform daring Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Aksi (Aksara) Pembangunan Rendah Karbon (PRK) Indonesia, yang berperan dalam membantu proses perekaman aksi kementerian/lembaga dan perhitungan nilai pengurangan kerugian ekonomi.
Dari hasil pelaporan 2020, aksi PBI di Indonesia mampu mengurangi kerugian ekonomi sebesar Rp44,39 triliun dari target Rp 52,91 triliun atau sebesar 84 persen.
Baca Juga
Capaian pengurangan potensi kerugian tersebut merupakan total capaian empat sektor PBI yaitu kelautan dan pesisir sebesar Rp27,35 triliun; air Rp0,91 triliun; pertanian Rp15,75 triliun; dan kesehatan Rp0,39 triliun.
"Ke depan, Aksara akan terus dikembangkan dengan sistem dynamic tagging agar mampu menjadi trend-setter dan merekam seluruh aksi PBI di provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia," tutur Bappenas.
Selain itu, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharo Monoarfa meresmikan peluncuran Laporan “A Green Economy for a Net Zero Future: How Indonesia Can Build Back Better after Covid-19 with The Low Carbon Development Initiative”, Rabu (13/10/2021). Laporan itu menyajikan skenario kebijakan PRK, termasuk upaya mencapai net-zero emission di Indonesia pada 2060.
"Target Indonesia untuk mencapai net-zero emission pada 2060 merupakan capaian signifikan dalam upaya penanggulangan perubahan iklim. Tetapi, lebih jauh dari itu, penting memastikan Indonesia tidak terlambat untuk memulai transisi menuju ekonomi hijau. Penyatuan visi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan menjadi aspek penting dalam memastikan proses transisi yang adil menuju pencapaian net-zero emission dan ekonomi hijau di masa mendatang,” tutur Suharso seperti yang dikutip dari siaran resmi, Rabu (13/10/2021).
Pemerintah mendorong skenario net-zero emission melalui PRK karena memiliki berbagai keuntungan dari sisi lingkungan, ekonomi dan sosial. Pertama, skenario net-zero emission mampu mewujudkan Visi Indonesia 2045 yaitu menjadi negara berpendapatan tinggi dengan target pendapatan per kapita US$13.980-US$14.495.
Kedua, penerapan program energi efisiensi, sejalan dengan peningkatan Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk menekan pertumbuhan energy demand. Ketiga, penggunaan EBT di sektor kelistrikan untuk mencapai net-zero emission.
Keempat, skenario net-zero emission di sektor lahan mampu meningkatkan tutupan hutan sekunder dan melindungi hutan primer. Pada 2060, upaya restorasi lahan dapat meningkatkan tutupan hutan sekunder seluas 4,1 juta ha dan melindungi 3,2 juta ha hutan primer.
Kelima, skenario net-zero emission melalui PRK mampu menciptakan lapangan kerja baru hingga 7-10 kali lipat lapangan kerja lebih besar dibandingkan investasi konvensional. Selain itu, skenario tersebut bisa menciptakan 1,8-2,2 juta lapangan kerja di 2030.
"Kita perlu mengalkulasi berapa investasi yang diperlukan Indonesia untuk mengimplementasikan skenario net-zero emission. Hasil studi kami menunjukkan, kebutuhan investasi pada 2021-2030 rata-rata US$150-US$200 miliar [Rp 2,2-2,9 kuadriliun] per tahun.
Angka ini mengambil porsi 3,4-3,5 persen dari PDB pada periode tersebut,” tutur Deputi Bidang Kemaritiman dan SDA Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto, pada kesempatan yang sama.