Bisnis.com, JAKARTA - The PRAKARSA, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat, menilai tarif pajak karbon yang ditetapkan pemerintah dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) masih rendah, jika dibandingkan dengan rencana awal pemerintah.
Pemerintah menetapkan tarif pajak karbon sebesar Rp30 per kg dan akan mulai dikenakan pada 1 April 2022.
“Aturan baru tentang pengenaan pajak karbon yang akan mulai berlaku pada 1 April 2022 merupakan salah satu bukti konkrit atas komitmen Indonesia dalam mengurangi dampak emisi CO2. Namun, jika kita perhatikan lebih mendalam, kebijakan ini masih belum ideal” kata Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA, dalam siaran persnya pada Jumat (8/10/2021).
Maftuchan menjelaskan, pasca ratifikasi Perjanjian Paris 2015 Indonesia masih kesulitan dalam memenuhi target pengurangan emisi. Namun, pemerintah sudah mulai melakukan pengurangan emisi karbon, salah satunya melalui peningkatan porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) dengan target 23 persen pada 2025.
Angka capaian bauran energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2020 mencapai sekitar 11 persen, meningkat jika dibandingkan dengan capaian pada 2015 yang baru mencapai 5 persen. Artinya, dalam 6 tahun capaian bauran EBT naik dua kali lipat atau kira-kira 1 persen per tahun.
Dia menilai, pemerintah akan kesulitan jika mengejar target pengurangan emisi hanya melalui kebijakan EBT, karena hanya tersisa empat tahun untuk mengejar target bauran EBT sebesar 23 persen di 2025.
Baca Juga
Oleh karena itu, kebijakan pajak karbon merupakan angin segar dalam upaya mencapai target pengurangan emisi karbon.
Sayangnya, rencana pengenaan tarif pajak karbon sebesar Rp 75 per kilogram CO2e dalam draf RUU KUP tidak terealisasikan.
Pada Bab VI UU HPP Pasal 13, tarif pajak karbon yang ditetapkan hanya Rp30 per kg karbon CO2e, jauh lebih rendah dari Singapura yang memiliki tarif US$3,71 per ton C02e atau US$0,0040 per kilogram C02e atau sekitar Rp56,89 per kg CO2e.
"Padahal jumlah emisi yang dihasilkan Indonesia berada jauh di atas Singapura. Tarif pajak karbon Rp30 per kg karbon CO2e merupakan langkah maju, namun tarifnya masih terlalu rendah. Idealnya, tarif sebesar Rp75-100 per kg karbon CO2e,” jelasnya.
Lebih lanjut, Research and Knowledge Manager di the PRAKARSA Cut Nurul Aidha menuturkan bahwa Pasal 13 Ayat 5 UU HPP menjelaskan bahwa subyek pajak karbon hanya orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung CO2 atau menghasilkan emisi karbon, artinya subyek pajak karbon adalah konsumen.
Menurutnya, jika perusahaan batu bara menjual batu bara ke industri lain akan dianggap sebagai pemungut pajak karbon dan bukan subyek pajak karbon.
Dalam hal ini, The PRAKARSA memandang pertimbangan pemerintah yang menerapkan pengenaan pajak karbon pada sisi permintaan ini tidak tepat sasaran dan dapat menimbulkan asumsi bahwa pemerintah hanya berpihak pada produsen.
"Padahal pajak karbon seharusnya menjadi salah satu alat kontrol dalam mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan yang tidak hanya untuk mengubah perilaku konsumen namun juga praktik buruk produsen penyumbang emisi karbon tinggi,” ungkapnya.
.