Bisnis.com, JAKARTA - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menegaskan tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku (changing behavior) para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
Hal ini sejalan dengan berbagai upaya pemerintah dalam rangka mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca atau GRK dalam jangka menengah dan panjang.
Dengan memperkenalkan pajak karbon dalam UU HPP, Indonesia telah menjadi salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang akan mengimplementasikannya lebih dahulu.
“Bahkan implementasi pajak karbon ini menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini, diantaranya Inggris, Jepang dan Singapura”, ungkap Kepala BKF Febrio N. Kacaribu, dalam siaran pers, Rabu (13/9/2021).
Sebagai sebuah kebijakan yang sangat strategis dalam penanganan perubahan iklim, Febrio menilai pengenaan pajak karbon memberikan sinyal kuat yang akan mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan.
Adapun, dalam konteks pembangunan, penerimaan negara dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.
Baca Juga
Dalam penerapannya, pemerintah akan melakukan transisi yang tepat agar pengenaan pajak karbon tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
Untuk tahap awal, sejak 1 April tahun 2022, pajak karbon akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax).
Tarif Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan, sejalan dengan pengembangan pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batubara.
Menurutnya, pemerintah sangat memahami pentingnya transisi hijau tersebut, sehingga dalam mekanisme pengenaannya, wajib pajak dapat memanfaatkan sertifikat karbon yang telah dibelinya di pasar karbon sebagai pengurang kewajiban pajak karbonnya.
Penerapan pajak karbon dan pengembangan pasar karbon merupakan milestones penting menuju perekonomian Indonesia yang berkelanjutan, serta menjadi bukti keseriusan Indonesia dalam agenda pengendalian perubahan iklim di tingkat global.
Momentum ini menjadi kesempatan berharga bagi Indonesia untuk mendapatkan manfaat penggerak pertama.
“Indonesia menjadi penentu arah kebijakan global, bukan pengikut, dalam melakukan transisi menuju pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon, di berbagai sektor pembangunan baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur”, tutup Febrio.
Sebelumnya, dalam sidang Paripurna (7/10/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pengenaan pajak karbon dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi.
"Dengan demikian, sistem pengenaan pajak karbon yang berlaku di Indonesia bukan hanya adil [just], tapi juga terjangkau [affordable] dan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat luas” tegas Sri Mulyani.