Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Dewa Putra Krishna Mahardika

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Telkom

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Pesan dari Krisis Energi di China dan Eropa

Krisis energi saat ini memperlihatkan dengan jelas betapa besarnya ketergantungan ekonomi global pada energi fosil. Kejadian di China dan Eropa dapat memicu krisis energi global yang berpotensi mengancam roda perekonomian.
Pembangkit listrik tenaga angin di China/ Bloomberg
Pembangkit listrik tenaga angin di China/ Bloomberg

Krisis energi yang saat ini terjadi di China dan Eropa bukan yang pertama karena pada abad lalu juga pernah menimpa. Krisis energi abad lalu, tepatnya dekade 1970-an, disebabkan negara yang tergabung dalam OPEC melakukan embargo minyak sehingga supply minyak global menurun dan berakibat pada kenaikan harga energi.

Akan tetapi krisis energi kali ini terjadi ketika dunia sedang berusaha mengurangi ketergantungannya pada energi fosil. Krisis energi saat ini memperlihatkan dengan jelas betapa besarnya ketergantungan ekonomi global pada energi fosil. Kejadian di China dan Eropa dapat memicu krisis energi global yang berpotensi mengancam roda perekonomian yang sedang bergerak naik dari kelesuan akibat pandemi.

Pemadaman bergilir di China dikhawatirkan akan mengganggu arus barang dalam rantai pasokan global akibat banyaknya perusahaan multinasional yang mengoperasikan pabriknya di negara tersebut. Tanpa adanya krisis energi seperti saat ini, tantangan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil untuk mencapai target netral karbon sudah berat. Persoalannya, untuk mencapai target netral karbon seringkali harus mengorbankan kepentingan ekonomi.

Dengan argumen bahwa energi fosil masih sangat dibutuhkan guna mencapai target pertumbuhan ekonomi dan biaya investasi yang sangat besar untuk pemasangan teknologi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam sistem energi nasional, membuat banyak negara tetap mengandalkan bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama selama beberapa dekade ke depan.

Banyak analis energi menyatakan krisis saat ini sebagai akibat dari ‘greenflation’ di mana pemerintah di berbagai negara memacu pengembangan EBT dan membatasi penggunaan bahan bakar fosil guna mencapai target netral karbon.

Misalnya, Pemerintah China tahun lalu memasang target agresif untuk memperbesar porsi EBT guna mencapai pengurangan emisi karbon pada 2030. Pemerintah Inggris juga secara agresif mengandalkan angin untuk memenuhi seperempat kebutuhan energi nasionalnya.

Agresifnya gerak pemerintah di banyak negara untuk meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi nasionalnya pada satu sisi telah membuat peningkatan investasi pada. Di sisi lain, hal itu membuat penurunan investasi pada energi fosil. Berdasarkan data Rystad Energy, investasi baru pada ladang minyak dan gas yang dikucurkan oleh perusahaan Amerika dan Eropa telah menurun selama periode 2015 hingga 2021.

Kondisi tersebut membuat kelangkaan pasokan energi fosil di saat terjadi peningkatan aktivitas ekonomi yang sangat membutuhkan tambahan pasokan energi guna menjalankan roda perekonomian yang sempat terhenti akibat pandemi. Kondisi ini akhirnya memicu kelangkaan dan kenaikan harga energi.

Namun, kenaikan harga batu bara dan minyak saat ini bisa menjadi dilema bagi investor karena adanya pembatasan investasi di sektor energi fosil, aksi divestasi oleh lembaga keuangan global dan penghentian pendanaan dari perbankan.

Kondisi yang terjadi saat ini bisa menjadi bumerang bagi industri EBT saat banyak orang menyadari beban yang harus ditanggung untuk mencapai target netral karbon. Bahan bakar fosil selama ini andal dalam menghasilkan energi karena dapat disimpan dalam jangka waktu lama. Terjadinya digitalisasi di beragam sektor kehidupan tidak hanya membuat peningkatan dalam jumlah energi tetapi juga derajat keandalan pasokannya.

Keandalan EBT dalam memasok kebutuhan energi global juga menjadi bahan sorotan. Sejak dekade lalu telah terjadi peningkatan nilai investasi untuk pengembangan teknologi EBT dari sinar matahari dan angin. Walau ini berita bagus tetapi kedua sumber EBT tersebut memiliki tingkat keandalan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan energi fosil.

Artinya, pada waktu tertentu produksi listrik dari sinar matahari dan angin dapat terganggu akibat cuaca buruk atau hembusan angin yang tidak terlalu keras. Kondisi ini membuat listrik yang dihasilkan dari sinar matahari dan angin terancam tidak selalu tersedia setiap saat.

Menyimpan listrik tidak semudah menyimpan batu bara atau minyak karena setrum bersifat sulit untuk disimpan dalam jumlah besar. Kondisi ini menuntut adanya keseimbangan antara pasokan dan permintaan listrik setiap saat. Kegagalan dalam menyeimbangkan pasokan dan permintaan listrik berpotensi memicu pemadaman listrik.

Walau saat ini telah tersedia teknologi baterai untuk mengatasi masalah penyimpanan listrik tetapi hanya mampu memasok listrik beberapa jam saja. Dengan adanya perkembangan teknologi, sangat mungkin untuk meningkatkan kemampuan baterai agar mampu menyimpan listrik untuk kebutuhan nasional selama beberapa hari. Akan tetapi teknologi tersebut tampaknya masih tidak akan hadir dalam waktu dekat.

Krisis energi yang saat ini terjadi dan isu keandalan EBT dalam memasok energi nasional mungkin akan menjadi argumen yang akan digunakan oleh banyak negara tetap mengandalkan energi fosil sebagai sumber energi utama dan akan mendorong pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan energi nasionalnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper