Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Simak Perbedaan antara Krisis Energi di China dengan di Inggris

Krisis energi di Inggris dan China tidak dapat dibandingkan secara apple to apple.  
Ilustrasi pertambangan minyak lepas pantai. /Bloomberg
Ilustrasi pertambangan minyak lepas pantai. /Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Krisis energi masih menghantui sejumlah negara seperti China dan Inggris. Namun keduanya memiliki masalah energi yang berbeda satu sama lain. 

Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menerangkan bahwa krisis energi dua negara tersebut tidak dapat dibandingkan secara apple to apple.  

Masyarakat Inggris mengalami krisis setelah pasokan gas baik untuk rumah tangga dan kendaraan membengkak di negara itu. Kondisi ini terjadi akibat pasokan terbatas yang diterima Inggris dari Rusia. 

Selama ini, Rusia menjadi pengekspor gas terbesar untuk Eropa, termasuk pula Inggris. Presiden Putin juga tidak meningkatkan produksi gas seiring kian tingginya permintaan menjelang musim dingin di Eropa. 

Sementara itu, China mengalami pertumbuhan ekonomi dengan sangat pesat. Akan tetapi produksi batu bara untuk industri termasuk pembangkit, tidak dapat dipenuhi dengan baik. 

Alhasil, China meningkatkan impor batu bara sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di negara tersebut.

“China menghadapi dilema antara harus memainkan perannya untuk mengurangi PLTU, di sisi lain dia dihadapkan pada kepentingan kebutuhan energi dengan kembalinya recovery pascapandemi,” katanya kepada Bisnis, Minggu (10/10/2021). 

Singgih pesimistis krisis yang terjadi China dan Eropa akan berimbas pada krisis energi dalam negeri. Sebab pemerintah telah memiliki target tersendiri, baik untuk produksi, ekspor maupun pemenuhan kebutuhan domestik. 

Berdasarkan data dari Minerba One Data Indonesia (MODI), produksi batu bara telah mencapai 458,49 juta ton dari target 625 juta ton. Kemudian 223,73 juta ton di antaranya telah diekspor dari rencana 487,50 juta ton. 

Sementara itu, realisasi domestic market obligation (DMO) sudah menyentuh 63,47 juta ton dari rencana awal 137,50 juta ton. Sementara itu, realisasi untuk pasar domestik sudah menyentuh 141,27 juta ton. 

“Yang mengganggu, bukan krisis tapi terhadap pasokan atau keamanan [batu bara] dari PLTU akibat terpotongnya komitmen yang sepenuhnya terpenuhi,” terangnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rayful Mudassir
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper