Bisnis.com, JAKARTA – Langkah pemerintah yang akan melaksanakan Tax Amnesty jilid II dipertanyakan oleh pengamat, apabila berkaca pada kebijakan serupa pada jilid I pada 2016-2017.
Adapun, rencana pelaksanaan Tax Amnesty jilid II tertuang dalam Program Pengungkapan Sukarela (PPS) di Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang disahkan DPR RI, Kamis (7/10/2021).
PPS yang akan dilaksanakan, atau Tax Amnesty jilid II, ditetapkan guna memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan hartanya yang belum atau kurang diungkapkan.
Bahana Sekuritas, dalam kajiannya, menyebutkan bahwa efektivitas dari program ini perlu dipertanyakan, jika melihat capaian pada program jilid I yang dilasanakan pada 2016-2017 silam.
"Perlu dicatat bahwa antusiasme terhadap program jatuh pada periode kedua dan ketiga Tax Amnesty jilid I (Oktober 2016-Maret 2017), ketika pemerintah hanya mencatat repatriasi aset senilai Rp16,7 triliun dibandingkan dengan periode pertama sebesar Rp130 triliun (Juli-September 2016)," demikian dikutip dari kajian Bahana yang diterima pada Sabtu (9/10/2021).
Tidak hanya faktor efektivitas, Bahana pun menduga diloloskannya Tax Amnesty jilid II ini hanya merupakan konsesi politik untuk kepentingan segelintir pihak saja.
Baca Juga
"Ada beberapa alasan untuk mempertanyakan efektivitas program ini: ini bisa jadi hanya konsesi politik untuk menguntungkan segelintir pengusaha saja, karena Indonesia juga tercatat tidak mengalami siklus ekonomi kuat dalam lima tahun terakhir yang bisa menambah kekayaan," jelas Bahana.
Menurut Bahana, pelaksanaan kembali Tax Amnesty jilid II hanya akan melukai dan mengecewakan para pembayar pajak yang selama ini patuh, dan mereka yang sudah berpartisipasi pada program jilid I 2016.
Bahana menilai, jika tujuannya untuk menambah pendapatan negara, pemerintah bisa saja mengambil langkah lain yaitu dengan mengenalkan skema pajak digital. Skema ini sudah diterapkan di beberapa negara lain seperti Austria, Prancis, India, Italia, UK, Spanyol, dan Turki.
Apalagi, dengan pesatnya perkembangan perusahaan berbasis digital dan teknologi di Indonesia, penerapan skema pajak digital bisa menambah penerimaan pajak untuk penerimaan negara.
"Implementasi berbagai skema pajak digital diperkirakan bisa membawa penerimaan pajak minimum Rp21,3 triliun untuk penerimaan negara," dikutip dari kajian Bahana.
Adapun, program tax amnesty jilid II menyasar dua kelompok wajib pajak (WP). Pertama, peserta program pengampunan pajak periode 2016-2017. Kedua, WP orang pribadi yang memperoleh aset dan belum melaporkannya sejak 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2020.
Dalam UU HPP, tarif pajak PPS ditetapkan di rentang 6 persen sampai dengan 18 persen. Terdapat dua kebijakan dalam PPS, yakni:
Pertama, peserta program pengampunan pajak 2016–2017, dapat mengungkapkan harta bersih yang belum dilaporkan pada saat program pengampunan pajak dengan membayar PPh Final sebesar:
- 11 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri
- 8 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri
- 6 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri yang diinvestasikan dalam surat berharga negara (SBN), dan hilirisasi sumber daya alam (SDA), serta energi baru dan terbarukan (EBT).
Kedua, wajib pajak orang pribadi peserta program pengampunan pajak maupun non peserta pengampunan pajak, dapat mengungkapkan harta bersih yang berasal dari penghasilan tahun 2016–2020, dapat mengungkapkan harta bersih 2016–2020 tapi belum dilaporkan dalam SPT tahunan PPh 2020, dengan membayar PPh Final sebesar:
- 18 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri
- 14 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri
- 12 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN serta hilirisasi SDA dan EBT.