Bisnis.com, JAKARTA - Setelah menghindari penutupan pemerintahan (government shutdown), Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, parlemen yang didominasi oleh partai Demokrat, serta opisisi dari partai Republik tengah berusaha menyepakati kenaikan plafon utang untuk menghindari gagal bayar (default).
Menteri Keuangan AS Janet Yellen sebelumnya mengingatkan para anggota parlemen tentang konsekuensi besar jika mereka gagal meloloskan batas utang sebelum 18 Oktober 2021. Meskipun Kongres telah menghindari penutupan sebagian pemerintahan pada Kamis lalu, risiko gagal bayar utang (default) AS masih membayangi negara tersebut.
Risiko default terhadap perekonomian AS diperkirakan akan ikut merambat ke perekonomian negara berkembang, di antaranya Indonesia. Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menyebut jika kesepakatan kenaikan plafon utang tertunda, maka akan berdampak pada gejolak di pasar keuangan global.
Dampak yang dimaksud Faisal adalah sentimen negatif di pasar keuangan yang menyebabkan imbal hasil (yield) US Treasury (UST) akan naik.
"Ini akan memaksa bond yield di emerging market, termasuk Indonesia akan naik. Ini dapat menjadi risiko cost financing bagi pemerintah Indonesia," terangnya kepada Bisnis, Selasa (5/10/2021).
Oleh sebab itu, Faisal menyebut otoritas moneter yaitu Bank Indonesia (BI) dan pemerintah harus menjaga stabilitas keuangan tanpa menjadi counterproductive dengan upaya percepatan pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19.
Baca Juga
"Karena ini akan menjadi daya tarik bagi instrumen keuangan Indonesia juga," tambah Faisal.
Selain itu, dia menjelaskan tingkat inflasi perlu dijaga agar secara real instrumen keuangan Indonesia masih memberikan keuntungan yang ukup tinggi dibandingkan dengan peers atau negara tetangga.
Kabar baiknya, menurut Faisal, kini defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) dan inflasi di Indonesia masih rendah. Selain itu kepemilikan asing terhadap instrumen keuangan Indonesia sudah berkurang.
Cadangan devisa juga dalam posisi tertinggi dalam sejarah, yaitu US$144,8 miliar pada Agustus 2021. Hal itu ditambah dengan naiknya harga komoditas yang mendukung tren surplus neraca dagang.
"Jadi, saya melihat Indonesia saat ini sudah cukup kuat untuk memitigasi dampak tapering dan isu US debt ceiling ini," pungkas Faisal.