Bisnis.com, JAKARTA – Anggaran subsidi pemerintah untuk sektor kelistrikan diprediksi bakal membengkak apabila sumber energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi tumpuan dalam memproduksi listrik.
Biaya yang lebih mahal menjadi konsekuensi pemerintah terhadap inisiatif percepatan transisi energi.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa sekitar 60 persen listrik yang diproduksi PT PLN (Persero) saat ini dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbasis batu bara.
Dengan masuknya pembangkit listrik berbasis EBT, maka otomatis akan mengurangi produksi listrik dari PLTU tersebut.
Komaidi memaparkan, meski penggunaan bahan baku batu bara untuk PLTU berkurang, tetapi biaya pokok produksi listrik yang dihasilkannya justru mengalami peningkatan.
Pasalnya, PLTU tersebut masih harus tetap beroperasi dengan kapasitas yang rendah, sehingga biaya produksi listrik per kWh yang dihasilkan pun lebih mahal.
Baca Juga
“Untuk setiap 3,6 GW tambahan dari PLTS itu risiko bisnisnya akan menambah subsidi sekitar Rp10 triliun per tahunnya, dengan asumsi nilai tukar rupiah saat ini,” katanya dalam webinar yang digelar pada Rabu (6/10/2021).
Proyeksi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021–2030 yang memproyeksikan kebutuhan subsidi listrik dan kompensasi untuk PLN melonjak menjadi Rp187 triliun pada 2030 dari Rp72 triliun di 2021.
Rata-rata subsidi dan kompensasi pada 2021–2024 sebesar Rp91 triliun per tahun. Namun, dengan capaian target EBT 23 persen pada 2025, subsidi dan kompensasi akan meningkat pada 2030.
Adapun perinciannya adalah besaran kompensasi mencapai Rp23,2 triliun pada 2021, Rp17,8 triliun di 2022, Rp28,6 triliun pada 2023, Rp45,8 triliun di 2024, Rp79,0 triliun di 2025, Rp82,3 triliun di 2026, Rp77,8 triliun pada 2027, Rp74,6 triliun di 2028, Rp74,3 triliun di 2029, dan Rp72,9 pada 2030.
Sementara itu, subsidi yang diperlukan PLN pada 2021 mencapai Rp48,7 triliun, kemudian Rp55,8 triliun di 2022, Rp65,5 triliun pada 2023, Rp79,2 triliun di 2024, dan Rp103,5 triliun di 2025. Selanjutnya Rp108,3 triliun pada 2026, Rp108,2 triliun di 2027, Rp108,7 triliun di 2028, Rp111,4 triliun di 2029, serta Rp113,6 triliun pada 2030.
Hitungan tersebut didasarkan pada proyeksi meningkatnya biaya pokok penyediaan (BPP) pada 2025 untuk mencapai target 23 persen bauran EBT. RUPTL juga memproyeksikan rerata BPP pada 2021–2024 sebesar Rp1.445 per kWh. Angka ini kemudian meningkat menjadi Rp1.637 per kWh pada 2025–2030.
“PLTU kalau produksinya dikurangi itu per kWh-nya jadi lebih mahal. Masuknya listrik dari PLTS atap itu akan mengurangi produksi listrik dari PLTU. Produksinya berkurang, otomatis per kWh-nya akan naik, kalau per kWh naik itu kebutuhan listriknya otomatis akan naik,” jelasnya.