Bisnis.com, JAKARTA – Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030 memproyeksikan kebutuhan subsidi listrik dan kompensasi untuk PLN melonjak menjadi Rp187 triliun pada 2030 dari Rp72 triliun di 2021.
Besaran subsidi tersebut tertuang dalam salinan RUPTL PLN 2021–2030 yang disahkan melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 188.K/HK.02/MEM.L/2021 tanggal 28 September 2021.
Diterangkan, rata-rata subsidi dan kompensasi pada 2021–2024 sebesar Rp91 triliun per tahun. Namun, dengan capaian target energi baru terbarukan (EBT) 23 persen pada 2025, subsidi dan kompensasi akan meningkat pada 2030.
“Akan meningkat menjadi rata-rata Rp186 triliun per tahun pada 2025–2030,” dikutip dari salinan RUPTL, Selasa (5/10/2021).
Secara detail, besaran kompensasi mencapai Rp23,2 triliun pada 2021, Rp17,8 triliun di 2022, Rp28,6 triliun pada 2023, Rp45,8 triliun di 2024, Rp79,0 triliun di 2025, Rp82,3 triliun di 2026, Rp77,8 triliun pada 2027, Rp74,6 triliun di 2028, Rp74,3 triliun di 2029, dan Rp72,9 pada 2030.
Selain itu, subsidi yang diperlukan PLN pada 2021 mencapai Rp48,7 triliun, kemudian Rp55,8 triliun di 2022, Rp65,5 triliun pada 2023, Rp79,2 triliun di 2024, dan Rp103,5 triliun di 2025. Selanjutnya Rp108,3 triliun pada 2026, Rp108,2 triliun di 2027, Rp108,7 triliun di 2028, Rp111,4 triliun di 2029, serta Rp113,6 triliun pada 2030.
Baca Juga
Hitungan tersebut didasarkan pada proyeksi meningkatnya biaya pokok penyediaan (BPP) pada 2025 untuk mencapai target 23 persen bauran EBT.
RUPTL juga memproyeksikan rerata BPP pada 2021–2024 sebesar Rp1.445 per kWh. Angka ini kemudian meningkat menjadi Rp1.637 per kWh pada 2025–2030.
Untuk perhitungan subsidi, tarif listrik diasumsikan tetap tanpa pemberlakuan automatic tariff adjustment (ATA) yang berdampak pada pembayaran kompensasi dan subsidi.
Kondisi ini dihadapi PLN sejak 1 Mei 2017 setelah diterbitkan surat 2577/26/MEM.L/2017 pada 27 Maret 2017 Perihal Persetujuan Penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (Tariff Adjustment) Periode April–Juni 2017.
Mengacu pada ketentuan ini, maka berlaku dua kelompok tarif, yaitu tarif bersubsidi sesuai dengan permen ESDM, dan golongan ATA yang menggunakan angka penyesuaian tarif terakhir.
Kebijakan tarif yang sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah adalah apabila BPP lebih tinggi dari pada tarif jual tenaga listrik, sehingga selisih tersebut akan ditanggung oleh pemerintah dalam bentuk subsidi.
Metode perhitungan subsidi dan tarif jual tenaga listrik menggunakan cost plus margin. Cost yang dimaksud adalah allowable costs, sedangkan margin usaha pada 2021–2030 diasumsikan 7 persen atas allowable costs.
Dengan adanya non-allowable cost, maka penerimaan margin bersihnya jauh di bawah 7 persen.