Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom memperkirakan dampak yang ditimbulkan dari kasus gagal bayar Evergrande atau Evergrande Real Estate Group di China tidak akan sebesar krisis subprime mortgage pada 2008.
Sebelumnya, sempat terjadi kekhawatiran kasus gagal bayar tersebut akan berdampak pada perekonomian Indonesia karena hubungan dagang yang erat antara Indonesia dan China.
Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) Budi Hikmat menyampaikan bahwa sejauh ini regulator dan pelaku pasar masih menanggapi secara optimistis isu tersebut.
Jika terjadi gagal bayar, dampaknya pun diperkirakan tidak akan separah krisis subprime mortgage 2008. Budi mengatakan ada dua hal yang membedakan kedua kondisi tersebut.
Pertama, berbeda dengan kejadian 2008, permasalahan gagal bayar Evergrande telah diketahui dan dapat diperkirakan sejak lama oleh pasar.
“Ketika tiga seri surat utang Evergrande telah mengalami penurunan nilai sejak Mei 2021, pada bulan Juni 2021 S&P telah men-downgrade peringkat utang mereka dan ujungnya September Evergrande disebut hampir default. Ada masa dimana pasar telah aware akan potensi ini dan memberikan ruang untuk mengantisipasi dampaknya,” katanya dalam siaran pers, Senin (27/9/2021).
Baca Juga
Kedua, Budi mengatakan Evergrande dalam menghadapi potensi gagal bayar ini masih memiliki land and property inventory (cadangan lahan dan properti) yang cukup mumpuni dan dapat dikonversi untuk membayar utang jatuh tempo mereka.
“Hal ini berbeda dengan kejadian 2008 di mana perusahaan yang berpotensi gagal bayar hanya memiliki paper assets berupa derivative,” jelasnya.
Lebih lanjut, hal lain yang menyebabkan isu gagal bayar Evergrande ditanggapi optimis oleh pasar, yaitu Evergrande melalui keterbukaan informasi ke otoritas bursa China menyampaikan bahwa mereka akan tetap membayar bunga salah satu bond berdenominasi Yuan yang jatuh tempo pada 23 September 2021 sebesar 232 juta Yuan.
Selain itu, pemerintah China melalui beberapa kesempatan dikabarkan akan turun tangan dalam melakukan restrukturisasi utang Evergrande dan likuidasi sejumlah aset potensial.
“Sehingga dalam jangka pendek, kami masih optimistis potensi gagal bayar Evergrande ini hanya akan berdampak minim terhadap perekonomian Indonesia dan tidak akan se-sistemik krisis 2008 lalu,” kata Budi.
Dia menambahkan, jika ke depan permasalahan ini semakin besar dan di luar kendali Pemerintah China, maka perlu diwaspadai potensi pelemahan sektor properti dan infrastruktur China pasca kejadian tersebut.
Menurutnya, kondisi ini mungkin akan berdampak pada permintaan ekspor komoditas Indonesia, khususnya pada ekspor besi dan baja ke China yang selama ini menjadi salah satu komoditas unggulan ke negara tersebut.