Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menanti Langkah Agresif China atasi 'Virus' Evergrande

Pemerintah China digadang-gadang tengah bersiap menjadikan Evergrande sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) demi menyelamatkan para pembeli rumah maupun investor ritel produk manajemen aset Evergrande.
Logo perusahaan China Evergrande di kantor mereka di Hong Kong pada 26 Maret 2018./Reuters/Bobby Yip
Logo perusahaan China Evergrande di kantor mereka di Hong Kong pada 26 Maret 2018./Reuters/Bobby Yip

Bisnis.com, JAKARTA - Banyak pihak, mulai dari pejabat pemerintah hingga ekonom dan analis, masih menunjukkan kekhawatiran akan kelanjutan masalah utang dari perusahaan properti Evergrande Group. Tidak sedikit dari mereka berharap pemerintah Xi Jinping akan turun tangan mengatasi masalah ini sebelum berubah menjadi sistemik. 

Samuel Sekuritas bahkan menilai krisis gagal bayar atau default perusahaan real estat asal China, Evergrande, belum akan berakhir meskipun kesepakatan pembayaran bunga utang dengan pemegang obligasi domestik (yuan) telah tercapai.

Pasalnya, Evergrande melewati batas waktu pembayaran bunga obligasi denominasi dolar Amerika Serikat (AS) pada Kamis, (23/9/2021), meskipun perusahaan memiliki grace period selama sebulan sebelum dinyatakan default. Dilansir Reuters, grup usaha properti itu telah melewati tanggal jatuh tempo pembayaran bunga obligasi dolar AS senilai US$83,5 juta.

"Kegagalan dari Evergrande untuk membayar bunga obligasi berdenominasi dolar AS pada hari Kamis lalu menunjukkan masalah masih jauh dari selesai," tulis Samuel Sekuritas pada kajiannya, Senin (27/9/2021).

Mengutip Wall Street Journal (23/9/2021), pemerintah China tengah bersiap menjadikan Evergrande sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) demi menyelamatkan para pembeli rumah maupun investor ritel produk manajemen aset Evergrande.

Akan tetapi, pada pemberitaan yang sama dinyatakan bahwa campur tangan pemerintah baru akan dilakukan pada saat terakhir bila Evergrande gagal melikuidasi bisnisnya tanpa gejolak. Bahkan, pemerintah daerah dan sejumlah BUMN telah diminta pemerintah pusat untuk bersiap menghadapi "badai" yang akan datang dari sisi ekonomi maupun sosial.

Menurut analisis Samuel Sekuritas, pemerintah China menghadapi kesulitan untuk mengurangi ketergantungan utang dari sektor properti, karena raksasa real estat milik Hui Ka Yan tersebut bukan satu-satunya pengembang properti yang memiliki rasio utang yang tinggi.

Dari analisis Samuel Sekuritas, 23 perusahaan properti di China memiliki rasio utang terhadap aset (debt to assets ratio) sekitar 60-81 persen. Tentunya, Evergrande menduduki peringkat pertama rasio utang tertinggi yaitu 81 persen terhadap aset yang dimiliki.

Sementara itu, pertumbuhan penjualan perumahan mencapai puncak tertinggi pada Maret 2021 yaitu 63,3 persen. Namun, setelah itu penjualan langsung jatuh secara tajam dan mulai terkontraksi (negatif) pada Juli 2021. Hingga Agustus 2021, tingkat penjualan memasuki level terendah sebesar -19,7 persen.

Samuel Sekuritas menyebut penjualan properti yang mulai terkontraksi pada Juli 2021 lalu memperumit upaya yang dilakukan pemerintah setempat. Apabila kondisi penjualan masih terkontraksi dalam beberapa bulan ke depan, maka diperlukan penyelamatan lebih agresif dari pemerintah.

"Bila penjualan properti terus terkontraksi dalam beberapa bulan ke depan, maka diperlukan langkah penyelamatan yang lebih agresif dari pemerintah Tiongkok untuk menghindari krisis yang lebih besar lagi," demikian dikutip dari kajian Samuel Sekuritas.

Berdasarkan catatan Bisnis, Evergrande memiliki tagihan, pinjaman, dan pembayaran obligasi yang belum dibayar senilai US$300 miliar atau Rp4.278 triliun, dengan kurs Rp14.260/ dolar AS.

Properti Evergrande menghiasi lanskap perkotaan China. Selama tahun-tahun booming-nya, Evergrande membantu menciptakan jenis kegiatan ekonomi yang menjadi sandaran para pejabat untuk mendorong pertumbuhan ajaib negara itu.

Dampak Evergrande 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa kasus gagal bayar Evergrande perlu diwaspadai karena dapat berdampak terhadap perekonomian global. Hal itu disampaikannya pada konferensi pers APBN KITA, Kamis (23/9/2021).

Menurutnya, dunia internasional turut memperhatikan perkembangan atas kasus terkait dengan likuiditas perusahaan real estat tersebut. Besarnya skala bisnis Evergrande di China, jelas Sri Mulyani, akan berdampaka terhadap perekonomian negara itu dan pada ekonomi global.

"Isu stabilitas sektor keuangan terutama di China menjadi perhatian, yaitu terjadinya gagal bayar dari satu perusahaan konstruksi real estate yang sangat besar, yaitu Evergrande," ucapnya.

Bendahara negara tersebut memang mewanti-wanti perkembangan ekonomi China, dan AS, yang berpotensi memiliki dampak spill over khususnya ke negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Dampak dari ekonomi China, tambah Sri Mulyani, perlu diwaspadai karena berpengaruh banyak terhadap kinerja ekspor Indonesia. Diketahui, nilai ekspor Indonesia naik 64,10 persen (yoy) pada Agustus 2021.

"Situasi ekonomi RRT harus kita pelajari dan waspadai. Karena bagaimanapun ekspor-ekspor terutama komoditas sangat dipengaruhi oleh global economic recovery terutama di-drive oleh RRT, Eropa dan Amerika Serikat," ujarnya.

Menurut Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, dampak krisis Evergrande ke Indonesia setidaknya bisa melalui dua jalur yaitu ekspor dan utang.

Dari sisi ekspor, Yose mengatakan krisis likuiditas Evergrande bisa berdampak pada penurunan harga komoditas karena pengaruh langsung terhadap ekonomi China. Namun, hal itu akan terjadi jika upaya pemerintah China gagal melokalisasi risiko tersebut untuk meredam efek yang dihasilkan.

Selanjutnya, dari sisi utang, krisis Evergrande bisa berdampak pada utang-utang dari negara berkembang yang berpotensi menjadi mengalami penurunan kredibilitas.

Menurut Yose, confidence terhadap utang-utang dari negara berkembang berpotensi terpengaruh karena melihat kerapuhan ekonomi China, jika efek krisis Evergrande cukup besar. Maka itu, dia mengatakan pemerintah perlu lebih hati-hati dalam melihat perkara utang, meskipun masih dibutuhkan untuk mendorong pemulihan ekonomi.

"Sebenarnya kalau Evergrande ini tergantung juga oleh langkah yang dijalankan oleh China/Tiongkok. Kalau memang snowballing, menjadi lebih besar lagi, itu dampaknya terhadap Indonesia paling tidak [melalui] 2-3 channel," jelasnya kepada Bisnis, Kamis (23/9/2021).

Di sisi lain, Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan dampak lain yang berpotensi dihasilkan adalah risk-off sentimen dari investor global ke emerging markets. Selanjutnya, Faisal melihat sentimen risk-off akan memberikan tekanan terhadap yaitu naiknya imbal hasil obligasi (bond yield), rendahnya harga ekuitas, dan pelemahan rupiah.

Meski demikian, kepemilikan asing terhadap SBN Indonesia kini hanya berkisar 22 persen-23 persen. Oleh karena itu, dia memperkirakan dampaknya tidak akan terlalu besar. "Jadi sudah mengecil sehingga dampaknya saya rasa tidak akan terlalu besar," katanya.

Faisal menilai dampak yang disebabkan oleh krisis Evergrande di 2021 ini kemungkinan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jatuhnya Lehman Brothers asal Amerika Serikat (AS), yang memicu krisis 2008.

"Dampaknya kemungkinan akan jauh lebih kecil karena faktor interlinkage yang lebih terbatas dengan sektor keuangan Global," tambahnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper