Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Perusahaan Alat-Alat Kesehatan & Laboratorium (Gakeslab) merencanakan investasi sebesar Rp1,7 triliun selama dua tahun ke depan untuk mengembangkan industri di dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Gakeslab Randy Teguh mengatakan investasi itu akan dilakukan oleh sebanyak 25 perusahaan. Adapun selama dua tahun terakhir, investasi di sektor ini mencapai Rp500 miliar. Didorong urgensi kemandirian alat kesehatan selama pandemi Covid-19, Gakeslab mendongkrak investasi hingga lebih dari tiga kali lipat.
"Kami siap untuk dua tahun ke depan investasi senilai Rp1,7 triliun untuk kesiapan alat kesehatan dalam negeri," katanya dalam rapat dengar pendapat di DPR RI, Senin (27/9/2021).
Randy mengatakan pihaknya telah membangun kerja sama dengan 11 universitas untuk menciptakan komunitas inovator dimana produk-produk penelitian bisa dilakukan penghiliran oleh industri. Sebaliknya, pengusaha alkes yang memerlukan penelitian dan pengembangan untuk produknya juga dapat melakukan proses penghuluan melalui komunitas inovator tersebut.
Gakeslab juga bekerja sama dengan Persatuan Insinyur Indonesia untuk mendukung kesiapan berupa komponen bahan baku dan mesin, serta memobilisasi sarana produksi.
Namun demikian, dia menilai pemerintah masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah untuk dibereskan. Salah satunya yakni skema penghitungan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) khusus untuk sektor alat kesehatan.
Baca Juga
"Sepertinya belum ada kejelasan apabila kami mempunyai penelitian dan pengembangan bekerja sama dengan universitas, apakah ini bisa menaikkan bobot TKDN," lanjutnya.
Dia pun mendorong Kementerian Kesehatan untuk membangun peta jalan pencapaian TKDN di bidang alat kesehatan untuk beberapa tahun ke depan.
Randy mengatakan skema penghitungan TKDN di sektor alkes tengah disusun dalam peraturan menteri perindustrian (Permenperin). Namun hingga kini asosiasi belum dimintai masukan mengenai penyusunan beleid tersebut.
Selain itu, pengusaha juga mengalami kebingungan dalam hal jaminan produk halal. Melalui Peraturan Menteri Agama No.464/2020, pemerintah mewajibkan semua alat kesehatan untuk mendapatkan sertifikat halal.
Padahal menurutnya, mekanisme ini berpotensi menjadi komersialisasi sertifikasi halal. Selain itu juga menambah ketidakpastian bagi investasi luar negeri.
"Jangan sampai produk yang tidak perlu sertifikat halal, dikenakan sehingga sertifikasi ini tidak mencapai tujuan awalnya," ujarnya.
Mekanisme sertifikasi tersebut, menyulitkan pabrikan karena bahan baku harus disuplai dari berbagai pihak agar sesuai ketentuan. Dia pun menyebut infrastruktur pelabelan halal untuk alat kesehatan belum sesiap obat dan makanan.
Dirjen Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Abdul Kadir menambahkan terjadi peningkatan penggunaan alkes dalam negeri dalam dua tahun terakhir di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), dari sebesar 30,9 persen pada 2019 menjadi 37,3 persen pada tahun ini.
Bekerja sama dengan Lembaga Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), alkes impor yang sudah ada substitusinya di dalam negeri dibekukan dari e-catalog. Kebijakan itu mengerek pembelian dalam negeri, sehingga sepanjang tahun ini hampir seluruh alkes yang dibeli fasyankes merupakan produksi domestik.
"Kecuali beberapa alat seperti ventilator invasif," ujar Abdul.