Bisnis.com, JAKARTA - Tak bisa dipungkiri bahwa obsesi pemerintah untuk meraih peringkat papan atas dalam indeks kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business yang diterbitkan Bank Dunia telah memicu lahirnya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Mesin pencarian dunia maya merekam, para pembesar negeri ini, mulai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan hingga Presiden Joko Widodo selalu menjadikan Ease of Doing Business (EODB) sebagai acuan.
Tahun lalu, Presiden Jokowi meminta agar EODB Indonesia bisa berada di peringkat 40. Saat ini, Indonesia masih berada di peringkat ke-73.
"Di bawah 40 itu baru karena posisi kita di Asia di ranking enam. Kita kalah dengan Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam," papar Jokowi.
Maklum, peringkat kemudahan berusaha itu merupakan cerminan kondisi riil dan gambaran mengenai prospek investasi yang dianggap paling valid sejagat. Data yang sama juga acap dijadikan acuan oleh calon investor untuk menentukan langkah ekspansi ke luar negeri.
Akan tetapi, EODB tercoreng dengan adanya skandal pengaturan peringkat. Alhasil, Bank Dunia selaku pengampu tim penyusun data itu mempertanggungjawabkan kecurangan tersebut dengan menghentikan penerbitan laporan.
Baca Juga
Otoritas investasi di dalam negeri pun merespons. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia malah mengatakan bahwa fakta kecurangan ini merefleksikan Bank Dunia yang selama ini dianggap sebagai lembaga independen dan kredibel tidak bermain dengan bersih dan jujur.
“Negara yang kita agung-agungkan atau institusi yang kita agung-agungkan bersih itu ternyata ya gitu deh. Jadi enggak semuanya juga yang kita pikir bagus itu, bagus,” ujar Bahlil, akhir pekan lalu.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melalui juru bicaranya, Jodi Mahardi, menanggapi skandal EODB tersebut.
Jodi menuturkan klausul-klausul peraturan dalam Omnibus Law tidak hanya dilandasi pada EODB, beleid sapu jagat ini disusun dengan melihat kebutuhan penyederhanaan regulasi di Indonesia.
“Kebijakan Omnibus Law bukan hanya dilandasi oleh EODB, tapi memang karena ada kebutuhan penyederhanaan regulasi secara besar-besaran,” ujar Jodi dikutip dari Tempo, Sabtu (18/9/2021).
Sayangnya, tanggapan pemerintah tersebut tidak dibarengi oleh solusi apapun dalam merespons EODB yang tak lagi objektif dan independen.
Dalam keterangan resminya, Bank Dunia memutuskan untuk menghentikan laporan kemudahan berusaha yang selama ini menjadi pegangan investor.
Hal ini dilakukan setelah lembaga itu melakukan pemeriksaan laporan dan metodologi yang digunakan dalam penyusunan EODB 2018 dan 2020. Akuntabilitas dalam penyusunan laporan itu menjadi persoalan utama.
“Selanjutnya, kami akan menggunakan pendekatan baru untuk menilai iklim bisnis dan investasi,” tulis pernyataan resmi World Bank yang dikutip Bisnis.
Siaran pers itu sekaligus menutup kasus pelanggaran laporan kemudahan berusaha ini. Dengan demikian, seharusnya tidak ada lagi persoalan yang layak diperdebatkan. Problem terselesaikan.
Selanjutnya, negara-negara di dunia termasuk Indonesia secara mandiri perlu menemukan tolok ukur baru untuk mengukur tingkat kemudahan berusaha.
Akan tetapi, Pemerintah Indonesia sejauh ini masih belum menyampaikan narasi yang lengkap mengenai tolok ukur kemudahan berusaha selain laporan OEDB. Hal ini makin menegaskan bahwa selama ini pemerintah terlalu memberikan tempat khusus bagi EODB sebagai penyaji data tunggal.
Faktanya, ada data yang tak kalah penting dibandingkan dengan EODB, yakni Incremental Capital Output Ratio (ICOR).
ICOR adalah parameter ekonomi makro yang menggambarkan rasio investasi kapital atau modal terhadap hasil yang diperoleh (output), dengan menggunakan investasi yang ditanamkan tersebut.
Data ini juga bisa diartikan sebagai dampak penambahan modal terhadap penambahan sejumlah output, karena ICOR mampu menjelaskan perbandingan antara penambahan kapital terhadap output.
Singkatnya, makin tinggi ICOR maka makin tinggi pula biaya ekonomi. Sebaliknya, jika ICOR rendah maka biaya ekonomi sangat terjangkau dan hal ini mampu menjadi daya rangsang bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
“ICOR juga menjadi perbandingan efisiensi investasi antarnegara yang relevan,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira saat dihubungi Bisnis, Minggu (19/9/2021).
Bhima menambahkan, selain ICOR ada tiga indikator lain yang bisa menjadi cerminan kemudahan bisnis bagi pemerintah di luar EODB. Pertama relevansi investasi dengan serapan tenaga kerja. Menurutnya pemerintah perlu menyeleksi investasi yang masuk dengan prioritas pada sektor padat karya.
Kedua ongkos logistik. Menurut Bhima, biaya logistik Indonesia masih belum memiliki magnet kuat untuk menarik investasi karena saat ini masih berada di level 23,5.
Ketiga indikator produktivitas tenaga kerja yang juga tidak kalah penting untuk meningkatkan daya saing investasi.
“Tanpa EODB sebenarnya banyak indikator lain yang bisa dijadikan benchmark dalam menarik investasi khususnya investasi langsung,” ujarnya. Harus diakui, temuan kecurangan ini merupakan pukulan bagi Indonesia yang tengah berjuang mengerek peringkat kemudahan berusaha dari posisi 73 saat ini.
Investigasi EODB
Adapun, investigasi independen menunjukkan adanya dugaan keterlibatan Kepala Eksekutif Bank Dunia saat itu Kristalina Georgieva, yang sekarang menjadi Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional atau IMF dan mantan presiden Bank Dunia Jim Yong Kim.
Namun, Georgieva membantah hasil investigasi tersebut. "Saya secara fundamental tidak setuju dengan temuan dan interpretasi Investigasi Penyimpangan Data terkait peran saya dalam laporan Doing Business Bank Dunia 2018," katanya dalam sebuah pernyataan resmi yang dikirim kepada Bisnis, minggu lalu (16/9/2021).
Menurut penyelidikan ini, Beijing mengeluh tentang peringkatnya yang ke-78 dalam daftar pada tahun 2017, dan laporan tahun depan akan menunjukkan bahwa Beijing turun lebih jauh.
Staf Bank Dunia yang berbasis di Washington sedang mempersiapkan edisi 2018 sementara para pemimpin tengah terlibat dalam negosiasi sensitif untuk meningkatkan modal pinjamannya, yang bergantung pada kesepakatan dengan China dan Amerika Serikat.
Dalam minggu-minggu terakhir sebelum laporan itu dirilis pada akhir Oktober 2017, Presiden Bank Dunia Jim Kim dan Georgieva meminta staf untuk memperbarui metodologi sehubungan dengan China, menurut penyelidikan oleh firma hukum WilmerHale.
Kim membahas peringkat dengan pejabat senior China yang kecewa dengan peringkat negara itu dan para pembantunya mengangkat masalah bagaimana meningkatkannya, menurut ringkasan penyelidikan, yang dirilis oleh Bank Dunia.
Hal ini dianggap sebagai salah satu prestasi Kim, bahwa dia berhasil menggiring kesepakatan untuk peningkatan US$13 miliar sumber daya Bank Dunia.
Tawar menawar itu membutuhkan dukungan dari presiden AS pada saat itu Donald Trump, yang menentang pinjaman lunak ke China, dan dari Beijing, yang setuju untuk membayar lebih banyak untuk pinjaman. Di tengah tekanan dari manajemen atas, staf mengubah beberapa data input yang meningkatkan peringkat China pada 2018 sebanyak tujuh peringkat menjadi 78 - sama seperti tahun sebelumnya.
Hal ini terungkap penyelidikan yang menganalisis 80.000 dokumen dan mewawancarai lebih dari tiga lusin karyawan yang masih menjabat dan yang telah tidak lagi menjabat. Georgieva mengecam seorang pejabat senior Bank Dunia karena salah menangani hubungan Bank Dunia dengan China dan gagal menghargai pentingnya laporan Ease of Doing Business bagi negara.
Setelah perubahan dibuat, dia berterima kasih padanya karena melakukan bagiannya untuk multilateralisme, menurut laporan penyelidikan tersebut. Georgieva kemudian mengunjungi rumah manajer yang bertanggung jawab atas laporan tersebut untuk mengambil salinannya, dan berterima kasih kepada mereka karena telah membantu menyelesaikan masalah.
Paul Romer, pemenang Hadiah Nobel yang menjabat sebagai kepala ekonom Bank Dunia pada saat itu, mengundurkan diri pada Januari 2018 setelah memberi tahu seorang reporter bahwa metodologi untuk pemeringkatan telah diubah sedemikian rupa sehingga dapat memberi kesan pertimbangan politik memengaruhi hasil.
Pada saat itu, Bank Dunia dengan keras menyangkal adanya pengaruh politik atas peringkat tersebut.
Dikutip dari AFP dan CNA, investigasi juga menemukan perubahan yang tidak tepat dalam laporan Ease of Doing Business 2020 Bank Dunia turut memengaruhi peringkat Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Azerbaijan.